Rabu, 26 Mei 2010

yang dimaksud dengan pengawai pencatatan Nikah

Yang dimaksudkan perkawinan pegawai pencatatan Nikah adalah pegawai pencatatan perkawinan dan perceraian pada KUA kecamatan bagi umat Islam dan catatan sipil bagi non muslim.
1. Pencatatan perkawinan
Perkawinanan dianggapa sah adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan dicatat menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku.Di Negara Indonesia ada dua intansi atau lembaga yang diberi tugas untuk mencatat perkawinan dan perceraian.adapun intansi yang dimaksudkan adalah:
a. Kantor Urusan Agama Kecamatan untuk Nikah ,Talak dan Rujuk bagi yang beragama Islam(lihat Undang-Undang Nomor 22 tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor tahun1954)
b. Kantor catatan Sipil (Bugerlijk stand) untuk perkawinan bagi yang tunduk kepada:
1) Stb 1933 Nomor 75 jo Stb.Nomor 1936 Nomor 607 tentang Peraturan pencatat Sipil untuk orang Indonesia, Kristen, jawa, Madura, Minahasa, dan Ambonia.
2) Stb 1847 Nomor 23 tentang Peraturan Perkawinan dilakukan menurut ketentuan Stb 1849 Nomor 25 yaiti:tentang pencatatan sipil Eropa
3) Stb 1917 Nomor 129 Pencatatan Perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan Stb 1917 Nomor 130 jo Stb 1919 Nomor 81 tentang Peraturan Pencatatan sipil Campuran
4) Pencatatan sipil untuk perkawinan Campuran sebagaimana diatur dalam Stb 1904 Nomor 279
5) Peraturan Pemerintahan Nomor 9Tahun 1975 menegaskan bahwa orang-orang Kristen di sumatera, Kalimantan , Bali, Maluku, dan Irian jaya yang belum diatur tersendiri sebagaimana tersebut dalam point-point di atas, pencatatan perkawinana bagi mereka ini dilaksanakan di kantor Catatan Sipil berdasarkan kentuan pasal 3 sampai dengan 9 peraturan ini.
Pencatan perkawinan dilakukan sebagaimana dalam pasal 3 UU No1 tahun 1974 tentang perkawinan yaitu:(1)Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan Kehendaknya itu kepada pegawai pencatatan ditempat perkawinan akan dilangsungkan, (2)Pemberitahuan tersebut dalam ayat(1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan, (3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat(2) disebabkan sesuatu alasan yang penting diberikan oleh Camat atas nama Bupati kepala Daerah
Adapun pihak yang memberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis dalam pasal 4 yaitu: Calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya dan dalam pasal 5 pemberitahuan memuat:Nama,Umur,agama,/kepercayaan,pekerjaan,tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan juga nama istri atau suami yang terdahulu.
Selanjutnya dalam pasal 6 yaitu(1) Pegawai Pencatatan perkawinana yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan ,meneliti apakah syarat-syarat perkawinana telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut UU,dan dalam pasal(2)bahwa selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1),pengawai pencacatan meneliti pula(a). Kutipan akte kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai.Dalam hal tidak ada akte kelahiran atau surat kenal lahir dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang berikan oleh kepala desa(b).Keterangan mengenai nama ,agama /kepercayaan ,pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai(c).Izin tertulis/izin pengadilan sebagai dimaksud pasal dalam pasal 6 ayat(2),(3),(4),dan (5) UU,apabila salah seorang calon mempelai atau atau keduannya belum mencapai 21 tahun(d)Izin pengadilan sebagai dimaksud pasal 4 UU dalam hal hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri(e)Dispensasi Pengadilan /penjabat sebagai dimaksud pasal 7ayat (2)UU,(f)Surat kematian isteri atau suami terdahulu atau surat keterangan perceraian bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih.(g)Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB,apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya Anggota Angkatan bersenjata;(h) Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang sahkan oleh pegawai pencatatan apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting,sehingga mewakili pada orang lain
Dalam pasal 7ayat(1 )menyatakan bahwa Hasil penelitian sebagai dimaksud pasal 6 oleh pegawai pencatatan perkawinan ditulis dalam sebuah daftar yang di peruntuhkan untuk itu.dalam ayat (2) mengatakan apabila ternyata dari hasil penelitian terhadap halangan perkawinan sebagai dimaksud UU dan dan belum dipenuhinya persyaratan tersebut dalam pasal 6 ayat (2) Peraturan pemerintah ini keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau orang tua atau kepada wakilnya.
Selanjutnya dalam pasal 8 bahwa setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan.Pegawai pencatatan menyelenggarakan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor pencatatan perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.
Ditambahkan pula dalam pasal 9 bahwa pengumuman ditandatangani oleh pegawai pencatatan dan memuat:(a).Nama,Umur/Kepercayaan,pekerjaan,tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai;apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri atau suami mereka terdahulu;(b).Hari tanggal,jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan
Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan harus mencatat setiap perkawinan yang dilaksanakan diwilayahnya masing-masing kelaian mencatat perkawinan tersebut salah satu kegunaan dari pencatatan perkawinan ini adalah mengontrol dengan konkrit tentang data NTR. Keharusan pencatatan perkawinan agar terjamin perkawinan bagi masyarakat Islam,setiap perkawinan harus dicatat oleh Pegawai Pencatatan Nikah,sebagaimana diatur dalam UU NO 22 tahun 1946 jo UU NO32 tahun 1954.dan setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah,karena perkawinan yang diluar pengawasan Pegawai pencatatan Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
2.Akta nikah.
Bagi seseorang yang bermaksud melangsungkan perkawinan terlebih dahulu memberitahuakan kehendaknya itu kepada pegawai pencatatan nikah.Pemberitahuan ini boleh dilakukan oleh orang tuanya atau walinya.Pegawai Pencatatan perkawinan setelah menerima laporan tersebut segera meneliti syarat-syarat perkawinan apakah telah terpenuhi atau belum apakah ada halangan kawin menurut agama dan UU,demikian surat-surat yang dijadikan syarat administrasi sudah terpenuhi atau belum.Jika belum cukup syarat-syarat yang diperlukan ,maka pegawai pencatat nikah segera memberitahukan kepada yang bersangkutan untuk segera dipenuhi ,kecuali dalam hal terdapat halangan kawin menurut agama dan UU maka Pegawai pencatat nikah harus menolaknya.Jika syarat-syarat nikah telah memenuhi ketentuan yang telah diatur oleh peraturan yang berlaku ,maka pegawai pencatat pernikahan membuat pengumuman tentang pemberitahuan yang sudah dibaca oleh khalayak ramai (umum).
Pengumuman yang serupa juga harus ditempelkan pada Kantor Pegawai Pencatatan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman masing-masing calon pengantin/mempelai jika mereka berlainan tempat tinggal.Perkawinan baru dala dilaksanakan setrelah hari kesepuluh sejak pengumuman tersebut ditempelkan.Ketentuan ini dimaksud untuk memberi kesempatan kepada pihak-pihak yang menurut pendapatnya perkawinan tersebut tidak dapat dilaksanakan karena ada halangan menurut agama dan UU atau tidak memenuhi syarat-syarat yang diperlukan oleh peraturan perundangan yang berlaku.
Perkawinan harus dilaksnakan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaananya itu.perkawinan harus dihadiri oleh saksi dan dihadiri pula pegawai pencatat nikah bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam ,aqad nikahnya dilaksanakan oleh wali nikah atau orang yang mewakilinya.Sesaat sesudah berlangsungnya perkawinan tersebut,maka kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pengawai pencatat nikah ,seterus pula diikuti oleh saksi-saksi ,wali nikah dan pegawai pencatat yang bertugas mencatat perkawinan tersebut.
Dengan selesainya penandatanganan akta perkawinan tersebut,maka perkawinan yang telah dilaksanakan itu telah dianggap sah dan telah tercatatan secara resmi sesuai dengan ketentuan yang berlaku Akta perkawinan adalah sebuah daftar yang membuat identitas kedua mempelai,orang tua atau walinya atau juga wakilnya.Juga memuat tanda-tanda surat yang diperlukan seprti iin kawin ,dispensasi kawin,izin poligami,izin Menteri HANKAM bagi wargan Negara TNI/Polri kepada suami dan isteri yang telah melangsungakan perkawinan diberi kutipan akta Nikah yang dibentuk buku dan disebut dengan “Buku Nikah”Kutipan akta perkawinan inilah yang menjadi bukti autentik bagi kedua suami dan isteri .Apabila pencatatan sudah selesai,Maka petugas pencatat nikah segera menyerahkan kutipan akta nikah yang disebut Buku Nikah kepada Pria juga untuk mempelai wanita.Harus diteliti dengan saksama apakah Buku nikah itu telah diisi /ditulis identitas dengan benar,telah dipasang pasphoto kedua mempelai dan sudah ditandangani oleh yang berwenang
Dalam buku akta nikah dimuat perjanjian ta’lik yang biasaanya materi ta’lik talak itu diucapkan noleh mempelai pria sesaat akad nikah dilaksanakan.Perjanjian ta’lik talak ini mempunyai tujuan untuk melindungi kaumwanita (isteri)dari perilakuan sewenang-wenang pihak suami.Apabila perjanjian ta’lik talak itu dilanggar oleh pihak suami maka pihak isteri diberi wewenang untuk menggugat cerai kepengadilan agama.
Agar perjanjian ta’lik talak mempunyai dasr hukum yang kuat,maka setelah pihak mempelai pria mengucapkan ta’lik talak itu petugas pencatatan pernikahan segera meminta tanda tangan mempelai pria untuk dibubuhkan pada lembar perjanjian ta’lik talak itu.ta’lik talak yang tidak ada tanda tangan mempelai pria dianggap tidak sah dan karenanya dianggap tidak pernah mengucapkannya.
Jadi untuk membuktikan perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta Nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat Nikah tetapi bagaiman bila suatu perkawinan itu tidak dapat dibuktikan denagn Akta Nikah cara pembuktikannya adalah dengan mengajukan itsbat nikahnya ke pengadilan agama.terbatas mengenai pernikahan yang didalamnya terdapat hal-hal yang berkenaan dengan Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perkawinan,Hilangnya Akta Nikah; Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU NO 1 Tahun 1974 dan perkawinan yang dilaksanakan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU NO 1 Tahun 1974
Yang mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri,anak-anak mereka, wali nikah dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu
3. Pencegahan perkawinan (pasal 13 s/d 21)
1. syarat dan pihak yang berhak mencegah perkawinan
Menurut pasal 13 UUP,Perkawinan dapat dicegah ,apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan ,Adapun para pihak yang dapat mencegah berlangsungnya perkawinan menurut pasal 14 ayat (1) ialah:
a. Para keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah;
b. Saudara;
c. Wali nikah;
d. Wali;
e. Pengampu dari salah seorang calon mempelai;
f. Pihak-pihak yang berkepentingan.
Selanjutnya dalam pasal 14 ayat (2) ditegaskan bahwa mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal14 berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari dari calon mempelai berada dibawah pengampuan,sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi bagi calon mempelai yang lainnya,yang mempunyai hubungn dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal l4 diatas
Selain itu menurut pasal 15 UUP,bahwa barangsiapa karena perkawinan dirinya masih masih terikat dengan salah satu dari kedua belah dan atas dasar masih adanya perkawinan ,dapat mencegah perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 UUP tersebut di atas; hal ini berarti perkawinan tersebut mendapat izin pengadilan karena :
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan;
2 .Pejabat yang berwenang mencegah berlangsungnya perkawinan.
Juga seorang pejabat yang ditunjuk,menurut pasal 16 ayat(1) berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang berikut:
a. Pihak pria belum mencap[ai umur 19 tahun dan pihak wanita belum mencapai umur 16 tahun (vide pasal 7 ayat 1).
b. Terkena larangan perkawinan karena hal-hal yang disebutkan dalam pasal 8 UUP tersebut di atas
c. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain dan tidak mendapat izin pengadilan untuk dapat kawin lagi(vide pasal 9)
d. Suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya,sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain(vide pasal 10).
e. Tidak memenuhi tata cara pelaksanaan pelaksanaan perkawinan yang akan diatur tersendiri(vide pasal 12).
Mengenai pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal 16 yang disebut di atas akan di atur dalm peraturan perundang-undangan (pasal 16 ayat 2)
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan pengadilan daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud oleh pegawai pencatatan perkawinan.
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada pengadilan oleh yang mencegah. Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut
3. Pengawai pencatatan perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan perkawinan yang melanggar peraturan UUP.
Sesuai dengan keterangan ketentuan pencegahan perkawinan huruf a s/d e dalam pasal 16 ayat (1) yang disebutkan diatas,maka pengawai pencatat perkawinan menurut pasal 20 UUP tidak tidak diperbolehhkan melangsungkan atau membantu adanya pelanggaran dari kentuan dalam pasal 7 ayat (1) ,pasal 8 ,pasal 9, pasal10 dan pasal 12 UUP,meskipun tidak ada pencegahan perkawinan (yang diajukan oleh para pihak yang bersangkutan)
Kemudian dalam pasal 21 UUP ditegaskan bahwa jika pegawai pencatatan perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut UU ini maka ia akan, menolak untuk melangsungkan perkawinan.Didalam penolakan,maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberi suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya
Para pihak yang perkawinan ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan didalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberi keputusan,dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas.Pengadilan akan memeriksa perkara dengan cara singkat danakan memberikan ketetapan,apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan,agar supaya perkawinan dilangsungkan.
Penetapan ini hilang kekuatannya ,jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat menulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.
4.Pembatalan perkawinan.
Dalam membicarakan jenis perkawinan yang dapat dibatalkan,KHI lebih sistematis dari pada UU NO 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dalam memuat masalah pembatalan nikah ini.Sementara ini pengertian tentang pembatalan nikah dikaitkan dengan nikah fasid dan nikah bathil.Nikah fasid adalah Nikah yang tidak memenuhi salah satu dari syarat- syarat nikah yang di atur dalam syari’at Islam, Nikah bathil yaitu perkawinan yang tidak memenuhi rukun nikah yang ditetapkan dalam syari’at Islam.Dengan ditegaskan dalam pasal 24-28 UU NO 1 Tahun 1974 perkawinan,KHI sdalam pasal 70 menetapkan bahwa perkawinan batal apabila(1) Suami melakukan perkawinan,sedangkan ia tidak berhak melakukann akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempatnya itu dalam iddah atau talak raj’i(2) Seorang menikahi bekas isterinya yang dili’annya,(3) Seorang menikahi bekas isterinya tersebut yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya ,kecuali bila bekas isterinya tersebut penah menikah denagn pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya , (4) perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajad tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 UU NO 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ,(5) isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya
Kemudian Pasal 71 KHI mengatakan bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila (1) seorang suami melakukan poligami tanpa izin pengadilan Agama ,(2) perempuan lain yang mafqud(hilang tidak diketahui beritanya),(3) perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain (4) perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 UU NO 1 Tahun 1974,(5) perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak dan (6) perkawinan yang dilaksanakan dengan paksa.KHI juga mengatur tentang pembatalan nikah yang disebabkan karena perkawinan dilangsungkan dalam keadaan diancam,ditipu,atau salah sangka sebagaiman tersebut dalam pasal 27 UU NO Tahun 1974 , yaitu (1) seorang suami atau isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan diri suami atau isteri. Ketentuan ini adalah sama sebagaiman yang diatur dalam pasal 72 KHI.Apabila ancaman sudah berhenti atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam waktu enam bulan setelah itu masih tetap hidup bersama sebagai suami isteri dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur
Mengenai orang-orang yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan ,diatur dalam pasal 23 UU NO 1 Tahun 1974 dan pasal 73 KHI,yaitu (1) para kelurga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, (2) suami atau isteri, (3) pejabat yang ditunjuk sebagaiman tersebut ayat (2) UU NO 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi setelah perkawinan ini putus.Permohonan pembatalan perkawinan dapat di ajukan kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat suami atau isteri atau perkawinan dilangsungkan. Batalnya sutau perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku dan berlaku sejak berlangsungnnya putusan pembatalan perkawinanitu tidak berlaku surut terhadap (1) Perkawinan yang batal karena salah satu suami atau isteri murtad, (2) anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut (3) pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.Kemudian dalam pasal 76 dikemukakan pula bahwa batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Ketentuan terakhir ini dimaksudkan untuk melindungi kemaslahatan dan kepentingan hukum serta masa depan Anak yang perkawinan itu bapaknya dibatalkan.Anak-anak tersebut tidak dapat dibebani kesalahan akibat kekeliruan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Meskipun sesungguhnya secara psikologis ,jika pembatalan perkawinan tersebut benar-benar terjadi akan tetap membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi kepentingan anak-anak tersebut.Tetapi demi hukum,maka kebenaran harus diletakkan meskipun secara nyata timbul hal-hal yang membawa kepedihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar