Rabu, 26 Mei 2010

perlindungan konsumen

BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG MASALAH
 Menurut Undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen :
 Pasal 1 butir 2 :
 “ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
 Menurut Hornby :
 “Konsumen (consumer) adalah seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa; seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu; sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang; setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”.
hak dan kewajiban konsumen barang, serta menguraikan faktor-faktor yang menghambat implementasinya. Metodanya dengan rancangan penelitian survei yang pendekatan yuridis sosiologis dan merupakan tipe penelitian deskriptif. Lokasi di kota Surakarta.
Hal lain yang menarik yang tercantum dalam UU No 8 tahun 1999 adalah dibentuknya Badan Perlindungan Konsumen Nasional (Bab VIII pasal 31 sd pasal 43), Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (Bab IX pasal 44) serta Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Bab XI pasal 49 sd pasal 58). Jika pembentukan ketiga badan ini, terutama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dapat pula diberlakukan pada pelayanan kesehatan, jelas sangat menguntungkan. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang tercantum dalam UU No 8 tahun 1999 tersebut pada dasarnya sama dengan Badan Pengadilan Profesi yang telah lama didambakan. Karena sesungguhnyalah, bagi profesi kedokteran, penyelesaikan sengketa pelayanan kesehatan, dipandang lebih baik jika diselesaikan melalui badan pengadilan profesi, bukan melalui badan pengadilan umum
RUMUSAN MASALAH
1. APa Pengertian Konsumen
2. Apa itu Konsumen
3. Apa Hak dan Kewajiban Konsumen
4. Bagaimana Penyelesaian Konsumen
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Konsumen
I Pengertian Konsumen menurut UU Perlindungan Konsumen No 8 tahun 1999 pasal 1 ayat 2
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,baik bagi kepentingan diri sendiri,keluarga,orang lain,maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan
Yang dimaksud Konsumen Akhir :
• Menurut BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) :
“Pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain dan tidak diperjualbelikan”
• Menurut YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia):
“Pemakai Barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali”.
• Menurut KUH Perdata Baru Belanda :
“orang alamiah yang mengadakan perjanjian tidak bertindak selaku orang yang menjalankan profesi atau perusahaan”.

II siapa itu konsumen
• Menurut Undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen :
Pasal 1 butir 2 :
“ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
• Menurut Hornby :
“Konsumen (consumer) adalah seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa; seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu; sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang; setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”.

III. Hak Dan Kewajiban Konsumen/Penderita
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa (pasal 4 ayat b)
Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kode etik dan sumpah dokter, pasien memiliki hak sepenuhnya untuk memilih (baca: menentukan) pelayanan kesehatan yang diperlukan. Sayangnya dalam keadaan tertentu pemenuhan hak ini tidak dapat diberlakukan. Dalam keadaan darurat untuk keselamatan penderita, dokter dapat saja menyelenggarakan pelayanan kesehatan, meskipun tidak dipilih (baca: disetujui) oleh pasien yang bersangkutan.
Pemahaman karakteristik yang seperti ini dipandang penting, sebab jika tidak demikian halnya, akan berdampak negatif terhadap pelayanan kesehatan. Para dokter akan enggan menyelenggarakan pelayanan gawat darurat kedokteran.
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur (pasal 4 ayat c)
Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kode etik dan sumpah dokter, seorang pasien memiliki hak sepenuhnya untuk memperoleh informasi yang benar, jelas dan jujur. Sayangnya pemenuhan hak ini mengenal adanya pengecualian. Dalam keadaan tertentu, untuk kepentingan pasien, dokter dapat menahan seluruh atau sebagian dan informasi tersebut.
Sama halnya dengan hak untuk memilih, pemahaman karakteristik yang terkait dengan hak atas informasi ini perlu pula dipahami. Pengabaian terhadap karakteristik ini akan berdampak negatif terhadap pelayanan kesehatan. Banyak anggota masyarakat, terutama yang berasal dan lapisan pendidikan rendah, akan dirugikan.
Hak mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian (pasal 4 ayat h)
Dalam pelayanan kesehatan, adanya konpensasi, ganti rugi dan/atau pengggantian ini ditemukan apabila terjadi malpraktek (malpractice). Disinilah letak masalahnya, karena tidak semua kerugian pada pelayanan kesehatan adalah karena malpraktek. Pelayanan kesehatan yang baik dan benar yang diselenggarakan oleh seorang dokter dapat saja menimbulkan akibat samping dan atau komplikasi yang merugikan pasien.
Dan uraian ini jelaslah, tidak semua kerugian yang timbul pada pelayanan kesehatan berhak mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian tersebut. Pemahaman tentang karakteristik ini juga penting, yakni dalam rangka mencegah timbulnya pelayanan kedokteran yang bersifat depensif (depensive medicine) yang apabila sampai terjadi, jelas akan sangat merugikan pasien.
Kewajiban memberikan jaminan dan/atau garansi (pasal 7 ayat e)
Terus terang harus diakui, dan pelbagai hak dan kewajiban yang tercantum dalam UU No 8 tahun 1999, pemenuhan kewajiban yang mengatur pemberian jaminan dan/atau garansi ini adalah yang paling sulit untuk dipenuhi.
Pelayanan kesehatan berbeda dengan pelbagai pelayanan lainnya. Hasil pelayanan kesehatan tidaklah pernah bersifat pasti. Pelayanan kesehatan yang sama yang diberikan kepada dua orang pasien yang sama dapat saja memberikan hasil yang berbeda. Dengan karakteristik yang seperti ini maka jelaslah pada pelayanan kesehatan yang dijanjikan bukanlah hasilnya, melainkan upaya yang dilakukan, yang dalam hal ini adalah harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan perkataan lain pada pelayanan kesehatan, para pelaku usaha, yakni para dokter dan atau pelbagai sarana pelayanan kesehatan, tidak pernah dapat memberikan jaminan dan/atau garansi terhadap hasil dan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan.
Sama halnya dengan malpraktek, pemahaman karakteristik ini juga penting, yakni dalam rangka rnencegah timbulnya pelayanan kedokteran yang depensif (depensive medicine).
hak dan kewajibannya yang diatur dalam Undang-undang, hasilnya menunjukkan dari 62 % responden mengetahuinya. Ini menggembirakan karena akan menentukan dalam pelaksanaannya mengenai ketentuan undang-undang tersebut. Apabila diperhatikan lebih lanjut, pengetahuan mengenai hak-hak konsumen secara terperinci ternyata jenis-jenis hak tersebut tidak semuanya diketahui oleh konsumen.
Di antara 8 jenis hak konsumen, ada yang sebagian besar yang diketahui (59 % - 73 %) dan ada juga yang sebagian besar tidak diketahui (62 % - 84 %). Hak-hak konsumen yang sebagian besar tidak diketahui adalah hak atas informasi ( yang tidak mengetahui 66 %), hak untuk didengar pendapatnya ( 62 %), hak memperoleh advokasi dan perlindungan (78 %), dan hak untuk pembinaan dan pendidikan tidak diketahui responden sejumlah 84 % . Antara hak dan kewajiban perlu berjalan bersama-sama, atau pengutamaannya haruslah seimbang.
Jangan sampai terjadi pengutamaan hak saja sementara kewajiban dilupakan, untuk menciptakan keadilan dalam masyarakat. Kalau mengenai kewajiban konsumen, sama-sama ada yang diketahui maupun ada yang tidak diketahui, maka kewajiban konsumen hanya diketahui oleh responden hanyalah kewajiban yang secara umum memang biasa oleh masyarakat, yaitu kewajiban membayar barang yang dikonsumsi/dibeli ( responden yang mengetahui sejumlah 93 %).
Kewajiban konsumen, seperti:
mengikuti petunjuk pemakaian barang sebagian besar tidak mengetahui (sejumlah 57 % responden),
juga kewajiban beriktikat baik terdapat 57 % responden tidak mengetahui. Berbeda dengan responden dari para pelaku usaha,
kewajibannya bahwa semua responden beriktikat baik, pemberian informasi secara jujur kepada konsumen terdapat 80 % responden.
Cara-cara pemberian informasinya adalah dengan menerangkan kualitas barang, percobaan. Sebetulnya kewajiban pelaku usaha ini sepintas baik, namun apabila dihubungkan dengan sikap pengusaha terhadap kedudukan atau status sosial konsumen menjadi tidak baik.
Hal ini dikarenakan, ternyata pelaku usaha memperhitungkan status sosial konsumen (100 % responden), sehingga dapat dikatakan dalam pelayanannya melakukan diskriminasi .
Konsumen dalam memperoleh barang dengan kualitas yang baik umumnya belum dapat terpenuhi. Hal ini ditunjukkan responden sebanyak 84 % pernah mengalami/memproleh barang yang berkualitas jelek ketika membeli.
hak dan kewajiban konsumen dilaksanakan dalam kerangka implementasi UU Perlindungan Konsumen kurang dapat terealisasikan dalam masyarakat.
Hal ini terutama bila berkaitan dengan memperjuangkan hal-hal yang merugikan konsumen. Hal ini dapat diketahui faktor-faktor yang menghambat berhubungan dengan pemahaman konsumen mengenai hak-hak dan kewajibannya.
Hak-hak dan kewajiban konsumen sudah diatur dalam undang-undang yang dipergunakan untuk melindungi konsumen dapat diketahui oleh konsumen. Namun bila perincian mengenai hak-haknya tersebut mengenai apa saja, konsumen tidak mengetahuinya. Faktor penghambat lainnya adalah masalah kelembagaan, dalam arti intansi-intasi pemerintah yang berkaitan dengan perlindungan konsumen.
Dikarenakan UU Perlindungan Konsumen ini relatif baru maka persiapan keorganisasian maupun perlengkapan-perlengkapannya belum memadai. Penjelasan (wawancara 21 Agustus 2002) dari Sulastri, bahwa di dalam Dinas Perindustrian-Perdagangan dan Penanaman Modal Surakarta dilengkapi organ Seksi Bimbingan Usaha dan Perlindungan Konsumen ( nara sumber sebagai Ketua Seksinya). Seksi ini belum lama berdiri, sebagai lembaga baru setelah berlakunya UU Perlindungan Konsumen.
Oleh karena itu dapat dipahami kinerjanya yang belum dapat mendorong atau membantu kaitannya dengan pelaksanaan hak-hak dan kewajiban konsumen.
Baru direncanakan akan terbentuknya PPNS Perlindungan Konsumen. Dalam hal ini juga kegiatan-kegiatan sosialisasi mengenai perlindungan konsumen berupa penyuluhan, pelatihan belum banyak dilakukan.
Hak Konsumen dan Kewajiban konsumen/penderita menurut UU pelindungan Konsumen No 8 tahun 1999
Pasal 4
Hak Konsumen adalah:
a. Hak atas kenyamanan,keamanan,dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar,jelas,dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi,perlindungan,dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumensecara patut;
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau pengantian,apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lain
Pasal 5
Kewajiban konsumen adalah:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa,demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
d. Mengikuti upaya penyelesaian hokum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Mengenai kewajiban penderita dalam hubungan antara dokter rumah sakit dengan penderita, akan sangat mendukung pelaksanaankegiatan rumah sakit maupun dokter.
a. Kepatuhan penderita akan prosedur dan tatacara pengobatan akan mendukung kesembuhan.
b. Disamping itu adanya pihutang yang tidak terbayar dan umumnya lebih banyak menimpa rumah sakit golongan IPSM yaitu rumah sakit yang biasanya melayani golongan menengah kebawa diharapkan akan berkurang sehubungan dengan adanya penekanan bahwa penderita akan membayar sesuai dengan tarif yang telah disepakati.

Semua hak dan kewajiban konsumen yang tercantum, pada UU No. 8 Tahun 1999 akan merupakan pula hak dan kewajiban penderita selaku konsumen pada sebuah rumah sakit.
Ada 9 hak yang secara tegas tercantum dalam UU Perlindungan konsumen tersebut. Dan hak tersebut, maka banyak hal telah tercakup dalam beberapa ketentuan dan peraturan yang dikeluarkan oleh Dep. Kes. RI. Beberapa hal misalkan:
a. Upaya akreditasi rumah sakit bertujuan agar mutu layanan rumah sakit lebih baik dan menunjang kenyamanan dan keselamatan penderita.
b. Hak penderita untuk mendapatkan “second opnion”, bila merasa bahwa pelayanan seorang dokter tidak/kurang meyakinkan kalau perlu pindah rumah sakit. Penderita berhak untuk mendapatkan catatan pengobatan di rumah sakit lama.
c. Adanya “informed consent”, penderita berhak mendapatkan penjelasan yang lengkap sebelum dilakukan tindakan tertentu. Penderitapun berhak menolak bila tidak menyetujui rencana tindakan yang akan dilaksanakan dokter dan rumah sakit terhadapnya. Bila ada penolakan tersebut, segala akibat tidak dilakukannya tindakan tersebut menjadi tanggung jawab peniderita.
d. Adanya MKEK ( Majelis Kode Etik Kedokteran ), bertujuan untuk melindungi penderita dari kemungkinan mal praktek seorang dokter di rumah sekit.
e. Pencantuman hak penderita mengharuskan Rumab Sakit harus meningkatkan pelayanan sehingga penderita merasa diperlakukan dengan baik, tidak diskriminatif, jujur, adanya kenyamanan dalam memperoleh layanan dan lain-lain. Dengan adanya UU Perlindungan Konsumen, rumah sakit akan meningkatkan faktor-faktor pelayanan tersebut, satu hal yang dirasakan sangat kurang bila dibandingkan rumah sakit diluar negeri.
f. Dalam menghadapi tuntutan kompensasi, ganti rugi oleh penderita, dengan adanya UU ini perlu diwaspadai pemanfaatan oleh pihak ke 3. Walaupun tuntutan ganti rugi atas kesalahan atau kekurangan, pelayanan rumah sakit/dokter terhadap seorang penderita, dapat menyebakan rumah sakit/dokter lebih berhati-hati dalam melaksanakan pelayanan kegiatan pelayanan, dan ini akan menyebakan peningkatan biaya yang akhirnya akan dipikul penderita secara keseluruhan. Hal ini dapat terjadi karena baik rumah sakit maupun dokter akan bekerja sama dengan asuransi guna melindungi dirinya, karena tuntutan bisa sangat besar dan tak akan terpikul oleh dokter maupun rumah sakit.
V bagaimana Penyelesaiannya Konsumen menurut UU pelindungan Konsumen No 8 tahun 1999
Hal lain yang menarik yang tercantum dalam UU No 8 tahun 1999 adalah dibentuknya Badan Perlindungan Konsumen Nasional (Bab VIII pasal 31 sd pasal 43), Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (Bab IX pasal 44) serta Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Bab XI pasal 49 sd pasal 58).
Jika pembentukan ketiga badan ini, terutama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dapat pula diberlakukan pada pelayanan kesehatan, jelas sangat menguntungkan. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang tercantum dalam UU No 8 tahun 1999 tersebut pada dasarnya sama dengan Badan Pengadilan Profesi yang telah lama didambakan.
Karena sesungguhnyalah, bagi profesi kedokteran, penyelesaikan sengketa pelayanan kesehatan, dipandang lebih baik jika diselesaikan melalui badan pengadilan profesi, bukan melalui badan pengadilan umum. Dengan perkataan lain jika badan pengadilan profesi ini dapat didirikan, pasti akan berdampak positif terhadap pelayanan kesehatan.
Masyarakat dan juga para penyelenggara pelayanan kesehatan akan memperoleh perlidungan hukum yang maksimal, sesuai dengan yang diperlukan Dicantumkannya pula ketentuan tentang penyelesaian sengketa (Bab X pasal 45 sd pasal 48), penyidikan (Bab XII pasal 59) serta sanksi administratif (Bab XIII pasal 60) juga merupakan suatu langkah maju yang menggembirakan.
Jika hal yang sama dapat pula diberlakukan pada pe!ayanan kesehatan, jelas sangat menguntungkan.
Karena sesungguhnyalah sampai saat ini tata cara penyelesaian sengketa pada pelayanan kesehatan, termasuk tata cara penyidikan serta sanksinya belum diatur secara tegas.
Akibatnya tidak mengherankan jika kepastian hukum untuk sengketa pelayanan kesehatan tidak pernah bisa jelas, yang dampaknya bukan saja merugikan konsumen yakni para pasien tetapi juga para penyelenggara pelayanan kesehatan.
PENYELESAIN SENGKETA
Pasal 45
1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengugat pelaku pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui pengadilan yang berada di lingkungan peradilan umum
2) Penyelesaiam sengketa konsumen dapat melalui pengadilan atau dilura pengadilan berdasarkan pilihan sukarela pada pihak yang bersengkata
3) Penyelesaian sengketa diluar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat(2) tidak menghilangan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang
4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengekata konsumen diluar pengadilan gugatan melalui pengailan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa
Pasal 46
(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh :
a. Seorang konsumen yang dirugikam atau ahli waris yang bersangkutan;
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat yaitu berbentuk badan hokum atau yayasan,yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dantelah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggran dasarnya;
d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yag dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau konsumen yang tidak sedikit;
(2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen,lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau d diajukan kepada peradilan umum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat(1) huruf d diatur dengan peraturan pemerintah.

Penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan
Pasal 47
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
Penyelesaian sengketa konsumen pengadilan
Pasal 48
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam pasa 45





















BAB III
KESIMPULAN

Didalam realitas bisnis tidak jarang dibedakan antara :
Consumer (konsumen) dan Custumer (pelanggan).
- Konsumen adalah semua orang atau masy. Tmsk pelanggan.
- Pelanggan adalah konsumen yang telah mengkonsumsi suatu
produk yang di produksi oleh produsen tertentu.
Konsumen Akhir dengan Konsumen Antara :
- Konsumen akhir adalah . Konsumen yang mengkonsumsi secara langsung produk yang diperolehnya;
- Konsumen antara adalah konsumen yang memperoleh produk untuk memproduksi produk lainnya.
Dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Hak dan kewajiban konsumen adalah sebagai berikut :
a. Pada dasarnya semua hak dan kewajiban baik untuk konsumen/penderita, maupun rumah sakit/dokter telah tercakup dalam ketentuan yang dikeluarkan Dep. Kes. RI. Dengan dikeluarkannya, UU No. 8 Th. 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka ketentuan-ketentuan tersebut diperkuat sehingga berpengaruh positif pada hubungan antara penderita, rumah sakit/dokter dan pemilik rumah sakit.
b. Perlu diwaspadai tentang hak yang berkaitan dengan tuntutan kompensasi/ganti rugi terhadap layanan yang dirasakan tidak sesuai dan ketentuan yang ada. Perlu adanya pengawasan agar adanya upaya pihak ke 3 yang berlebihan, ujung-ujungnya akan merugikan konsumen/penderita sendiri karena akan meningkatkan biaya pelayarian kesehatan secara umum.
Peran MKEK perlu ditingkatkan. Prakarsa adanya peradilan profesi merupakan langkah strtegis dalam menangani perselisihan antara rumeh sakit/dokter dengan penderita. Tetapi perlu pula diwaspadai adanya keterlibatan pihak ke 3 yang terlampau dalam. melanggar etika kedokteran dan etika rumah sakit.
hak dan kewajiban konsumen barang belum dapat terealisasi secara keseluruhan, utamanya berkaitan dengan perilaku untuk memperjuangkan hak seperti hak advokasi, memperoleh ganti rugi.
Hambatan-hambatan implementasi tersebut berhubungan dengan faktor-faktor tidak diketahuinya hak-dan kewajiban konsusmen tersebut secara terperinci.
Faktor lainnya menyangkut kesiapan dari kinerja intansi/lembaga-lembaga terkait, dalam hal ini Dinas Perindustrian “Perdagangan dan Penanaman Modal Kota Surakarta. Juga, sosialisasi masalah perlindungan konsumen yang masih kurang sebagai gerakan kemasyarakatan dalam rangka pemberdayaan konsumen.
Dari penelitian ini dapat diajukan rekomendasi adanya gerakan sosial mengenai pemberdayaan konsumen sehingga penting juga penggalakkan kegiatan-kegiatan sosialisasi.
Peningkatan kerjasama berbagai pihak mengenai perlindungan konsumen, seperti lembaga-lembaga pemerintah, organisasi kemasyarakatan mengenai konsumen, asosiasi pelaku usaha, dan perguruan tinggi. Lembaga-lembaga tersebut (terutama pemerintah) segera diwujudkan adanya kelengkapan keorganisasiannya yang bersangkutan dengan perlindungan konsumen.
Penelitian mengenai konsumen perlu ditindak-lanjuti menyangkut penegakan hukumnya ataupun kinerja kelembagaan-birokrasi pemerintah sehubungan dengan pelaksanaan UU Perlindungan Konsumen, dan juga penelitian sektor berkaitan dengan konsusmen yang lebih spesifik, misalnya perlindungan konsumen mengenai obat-obatan, atau makanan, atau perumahan.
Kesimpulan yang diperoleh bahwa implementasi UU No. 8 Tahun 1999, khususnya mengenai pelaksanaan hak-hak dan kewajiban konsumen barang belum dapat terealisasi secara keseluruhan, utamanya berkaitan dengan perilaku untuk memperjuangkan hak seperti hak advokasi, memperoleh ganti rugi.
Hal lain yang menarik yang tercantum dalam UU No 8 tahun 1999 adalah dibentuknya Badan Perlindungan Konsumen Nasional (Bab VIII pasal 31 sd pasal 43), Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (Bab IX pasal 44) serta Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Bab XI pasal 49 sd pasal 58).
Jika pembentukan ketiga badan ini, terutama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dapat pula diberlakukan pada pelayanan kesehatan, jelas sangat menguntungkan. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang tercantum dalam UU No 8 tahun 1999 tersebut pada dasarnya sama dengan Badan Pengadilan Profesi yang telah lama didambakan.
Penutup
Demikian telah diuraikan persepsi PERSI tentang UU NO. 8 Th. 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

DAFTAR PUSTAKA


1. A.W. Budiarso, dr - Persi Pusat, (1999),UU Perlindungan Konsumen dan dampaknya kepada pelayanan Rumah sakit,( Jakarta: Seminar Sehari IDI tentang Perlindungan Konsumen Pelayanan Kesehatan)
2. Undang- undang Nomor 8 Tahun, 1999 Tentang perlindungan Konsumen
3. Hukum perlindungan konsumen FAKULTAS HUKUM UPN “VETERAN” JATIM ,SURABAYA
4. Azwar Azrul Beberapa Catatan Tentang UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Dan Dampaknya Terhadap Pelayanan Kesehatan
5. Agus Brotosusilo. 1992. Hak-hak Produsen dalam Hukum Perlindungan Konsumenâ Majalah Hukum dan Pembangunan, edisi Oktober 1992. Jakarta: Fakultas Hukum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar