Rabu, 26 Mei 2010

perlindungan konsumen

BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG MASALAH
 Menurut Undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen :
 Pasal 1 butir 2 :
 “ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
 Menurut Hornby :
 “Konsumen (consumer) adalah seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa; seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu; sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang; setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”.
hak dan kewajiban konsumen barang, serta menguraikan faktor-faktor yang menghambat implementasinya. Metodanya dengan rancangan penelitian survei yang pendekatan yuridis sosiologis dan merupakan tipe penelitian deskriptif. Lokasi di kota Surakarta.
Hal lain yang menarik yang tercantum dalam UU No 8 tahun 1999 adalah dibentuknya Badan Perlindungan Konsumen Nasional (Bab VIII pasal 31 sd pasal 43), Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (Bab IX pasal 44) serta Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Bab XI pasal 49 sd pasal 58). Jika pembentukan ketiga badan ini, terutama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dapat pula diberlakukan pada pelayanan kesehatan, jelas sangat menguntungkan. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang tercantum dalam UU No 8 tahun 1999 tersebut pada dasarnya sama dengan Badan Pengadilan Profesi yang telah lama didambakan. Karena sesungguhnyalah, bagi profesi kedokteran, penyelesaikan sengketa pelayanan kesehatan, dipandang lebih baik jika diselesaikan melalui badan pengadilan profesi, bukan melalui badan pengadilan umum
RUMUSAN MASALAH
1. APa Pengertian Konsumen
2. Apa itu Konsumen
3. Apa Hak dan Kewajiban Konsumen
4. Bagaimana Penyelesaian Konsumen
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Konsumen
I Pengertian Konsumen menurut UU Perlindungan Konsumen No 8 tahun 1999 pasal 1 ayat 2
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,baik bagi kepentingan diri sendiri,keluarga,orang lain,maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan
Yang dimaksud Konsumen Akhir :
• Menurut BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) :
“Pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain dan tidak diperjualbelikan”
• Menurut YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia):
“Pemakai Barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali”.
• Menurut KUH Perdata Baru Belanda :
“orang alamiah yang mengadakan perjanjian tidak bertindak selaku orang yang menjalankan profesi atau perusahaan”.

II siapa itu konsumen
• Menurut Undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen :
Pasal 1 butir 2 :
“ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
• Menurut Hornby :
“Konsumen (consumer) adalah seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa; seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu; sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang; setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”.

III. Hak Dan Kewajiban Konsumen/Penderita
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa (pasal 4 ayat b)
Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kode etik dan sumpah dokter, pasien memiliki hak sepenuhnya untuk memilih (baca: menentukan) pelayanan kesehatan yang diperlukan. Sayangnya dalam keadaan tertentu pemenuhan hak ini tidak dapat diberlakukan. Dalam keadaan darurat untuk keselamatan penderita, dokter dapat saja menyelenggarakan pelayanan kesehatan, meskipun tidak dipilih (baca: disetujui) oleh pasien yang bersangkutan.
Pemahaman karakteristik yang seperti ini dipandang penting, sebab jika tidak demikian halnya, akan berdampak negatif terhadap pelayanan kesehatan. Para dokter akan enggan menyelenggarakan pelayanan gawat darurat kedokteran.
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur (pasal 4 ayat c)
Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kode etik dan sumpah dokter, seorang pasien memiliki hak sepenuhnya untuk memperoleh informasi yang benar, jelas dan jujur. Sayangnya pemenuhan hak ini mengenal adanya pengecualian. Dalam keadaan tertentu, untuk kepentingan pasien, dokter dapat menahan seluruh atau sebagian dan informasi tersebut.
Sama halnya dengan hak untuk memilih, pemahaman karakteristik yang terkait dengan hak atas informasi ini perlu pula dipahami. Pengabaian terhadap karakteristik ini akan berdampak negatif terhadap pelayanan kesehatan. Banyak anggota masyarakat, terutama yang berasal dan lapisan pendidikan rendah, akan dirugikan.
Hak mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian (pasal 4 ayat h)
Dalam pelayanan kesehatan, adanya konpensasi, ganti rugi dan/atau pengggantian ini ditemukan apabila terjadi malpraktek (malpractice). Disinilah letak masalahnya, karena tidak semua kerugian pada pelayanan kesehatan adalah karena malpraktek. Pelayanan kesehatan yang baik dan benar yang diselenggarakan oleh seorang dokter dapat saja menimbulkan akibat samping dan atau komplikasi yang merugikan pasien.
Dan uraian ini jelaslah, tidak semua kerugian yang timbul pada pelayanan kesehatan berhak mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian tersebut. Pemahaman tentang karakteristik ini juga penting, yakni dalam rangka mencegah timbulnya pelayanan kedokteran yang bersifat depensif (depensive medicine) yang apabila sampai terjadi, jelas akan sangat merugikan pasien.
Kewajiban memberikan jaminan dan/atau garansi (pasal 7 ayat e)
Terus terang harus diakui, dan pelbagai hak dan kewajiban yang tercantum dalam UU No 8 tahun 1999, pemenuhan kewajiban yang mengatur pemberian jaminan dan/atau garansi ini adalah yang paling sulit untuk dipenuhi.
Pelayanan kesehatan berbeda dengan pelbagai pelayanan lainnya. Hasil pelayanan kesehatan tidaklah pernah bersifat pasti. Pelayanan kesehatan yang sama yang diberikan kepada dua orang pasien yang sama dapat saja memberikan hasil yang berbeda. Dengan karakteristik yang seperti ini maka jelaslah pada pelayanan kesehatan yang dijanjikan bukanlah hasilnya, melainkan upaya yang dilakukan, yang dalam hal ini adalah harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan perkataan lain pada pelayanan kesehatan, para pelaku usaha, yakni para dokter dan atau pelbagai sarana pelayanan kesehatan, tidak pernah dapat memberikan jaminan dan/atau garansi terhadap hasil dan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan.
Sama halnya dengan malpraktek, pemahaman karakteristik ini juga penting, yakni dalam rangka rnencegah timbulnya pelayanan kedokteran yang depensif (depensive medicine).
hak dan kewajibannya yang diatur dalam Undang-undang, hasilnya menunjukkan dari 62 % responden mengetahuinya. Ini menggembirakan karena akan menentukan dalam pelaksanaannya mengenai ketentuan undang-undang tersebut. Apabila diperhatikan lebih lanjut, pengetahuan mengenai hak-hak konsumen secara terperinci ternyata jenis-jenis hak tersebut tidak semuanya diketahui oleh konsumen.
Di antara 8 jenis hak konsumen, ada yang sebagian besar yang diketahui (59 % - 73 %) dan ada juga yang sebagian besar tidak diketahui (62 % - 84 %). Hak-hak konsumen yang sebagian besar tidak diketahui adalah hak atas informasi ( yang tidak mengetahui 66 %), hak untuk didengar pendapatnya ( 62 %), hak memperoleh advokasi dan perlindungan (78 %), dan hak untuk pembinaan dan pendidikan tidak diketahui responden sejumlah 84 % . Antara hak dan kewajiban perlu berjalan bersama-sama, atau pengutamaannya haruslah seimbang.
Jangan sampai terjadi pengutamaan hak saja sementara kewajiban dilupakan, untuk menciptakan keadilan dalam masyarakat. Kalau mengenai kewajiban konsumen, sama-sama ada yang diketahui maupun ada yang tidak diketahui, maka kewajiban konsumen hanya diketahui oleh responden hanyalah kewajiban yang secara umum memang biasa oleh masyarakat, yaitu kewajiban membayar barang yang dikonsumsi/dibeli ( responden yang mengetahui sejumlah 93 %).
Kewajiban konsumen, seperti:
mengikuti petunjuk pemakaian barang sebagian besar tidak mengetahui (sejumlah 57 % responden),
juga kewajiban beriktikat baik terdapat 57 % responden tidak mengetahui. Berbeda dengan responden dari para pelaku usaha,
kewajibannya bahwa semua responden beriktikat baik, pemberian informasi secara jujur kepada konsumen terdapat 80 % responden.
Cara-cara pemberian informasinya adalah dengan menerangkan kualitas barang, percobaan. Sebetulnya kewajiban pelaku usaha ini sepintas baik, namun apabila dihubungkan dengan sikap pengusaha terhadap kedudukan atau status sosial konsumen menjadi tidak baik.
Hal ini dikarenakan, ternyata pelaku usaha memperhitungkan status sosial konsumen (100 % responden), sehingga dapat dikatakan dalam pelayanannya melakukan diskriminasi .
Konsumen dalam memperoleh barang dengan kualitas yang baik umumnya belum dapat terpenuhi. Hal ini ditunjukkan responden sebanyak 84 % pernah mengalami/memproleh barang yang berkualitas jelek ketika membeli.
hak dan kewajiban konsumen dilaksanakan dalam kerangka implementasi UU Perlindungan Konsumen kurang dapat terealisasikan dalam masyarakat.
Hal ini terutama bila berkaitan dengan memperjuangkan hal-hal yang merugikan konsumen. Hal ini dapat diketahui faktor-faktor yang menghambat berhubungan dengan pemahaman konsumen mengenai hak-hak dan kewajibannya.
Hak-hak dan kewajiban konsumen sudah diatur dalam undang-undang yang dipergunakan untuk melindungi konsumen dapat diketahui oleh konsumen. Namun bila perincian mengenai hak-haknya tersebut mengenai apa saja, konsumen tidak mengetahuinya. Faktor penghambat lainnya adalah masalah kelembagaan, dalam arti intansi-intasi pemerintah yang berkaitan dengan perlindungan konsumen.
Dikarenakan UU Perlindungan Konsumen ini relatif baru maka persiapan keorganisasian maupun perlengkapan-perlengkapannya belum memadai. Penjelasan (wawancara 21 Agustus 2002) dari Sulastri, bahwa di dalam Dinas Perindustrian-Perdagangan dan Penanaman Modal Surakarta dilengkapi organ Seksi Bimbingan Usaha dan Perlindungan Konsumen ( nara sumber sebagai Ketua Seksinya). Seksi ini belum lama berdiri, sebagai lembaga baru setelah berlakunya UU Perlindungan Konsumen.
Oleh karena itu dapat dipahami kinerjanya yang belum dapat mendorong atau membantu kaitannya dengan pelaksanaan hak-hak dan kewajiban konsumen.
Baru direncanakan akan terbentuknya PPNS Perlindungan Konsumen. Dalam hal ini juga kegiatan-kegiatan sosialisasi mengenai perlindungan konsumen berupa penyuluhan, pelatihan belum banyak dilakukan.
Hak Konsumen dan Kewajiban konsumen/penderita menurut UU pelindungan Konsumen No 8 tahun 1999
Pasal 4
Hak Konsumen adalah:
a. Hak atas kenyamanan,keamanan,dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar,jelas,dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi,perlindungan,dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumensecara patut;
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau pengantian,apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lain
Pasal 5
Kewajiban konsumen adalah:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa,demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
d. Mengikuti upaya penyelesaian hokum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Mengenai kewajiban penderita dalam hubungan antara dokter rumah sakit dengan penderita, akan sangat mendukung pelaksanaankegiatan rumah sakit maupun dokter.
a. Kepatuhan penderita akan prosedur dan tatacara pengobatan akan mendukung kesembuhan.
b. Disamping itu adanya pihutang yang tidak terbayar dan umumnya lebih banyak menimpa rumah sakit golongan IPSM yaitu rumah sakit yang biasanya melayani golongan menengah kebawa diharapkan akan berkurang sehubungan dengan adanya penekanan bahwa penderita akan membayar sesuai dengan tarif yang telah disepakati.

Semua hak dan kewajiban konsumen yang tercantum, pada UU No. 8 Tahun 1999 akan merupakan pula hak dan kewajiban penderita selaku konsumen pada sebuah rumah sakit.
Ada 9 hak yang secara tegas tercantum dalam UU Perlindungan konsumen tersebut. Dan hak tersebut, maka banyak hal telah tercakup dalam beberapa ketentuan dan peraturan yang dikeluarkan oleh Dep. Kes. RI. Beberapa hal misalkan:
a. Upaya akreditasi rumah sakit bertujuan agar mutu layanan rumah sakit lebih baik dan menunjang kenyamanan dan keselamatan penderita.
b. Hak penderita untuk mendapatkan “second opnion”, bila merasa bahwa pelayanan seorang dokter tidak/kurang meyakinkan kalau perlu pindah rumah sakit. Penderita berhak untuk mendapatkan catatan pengobatan di rumah sakit lama.
c. Adanya “informed consent”, penderita berhak mendapatkan penjelasan yang lengkap sebelum dilakukan tindakan tertentu. Penderitapun berhak menolak bila tidak menyetujui rencana tindakan yang akan dilaksanakan dokter dan rumah sakit terhadapnya. Bila ada penolakan tersebut, segala akibat tidak dilakukannya tindakan tersebut menjadi tanggung jawab peniderita.
d. Adanya MKEK ( Majelis Kode Etik Kedokteran ), bertujuan untuk melindungi penderita dari kemungkinan mal praktek seorang dokter di rumah sekit.
e. Pencantuman hak penderita mengharuskan Rumab Sakit harus meningkatkan pelayanan sehingga penderita merasa diperlakukan dengan baik, tidak diskriminatif, jujur, adanya kenyamanan dalam memperoleh layanan dan lain-lain. Dengan adanya UU Perlindungan Konsumen, rumah sakit akan meningkatkan faktor-faktor pelayanan tersebut, satu hal yang dirasakan sangat kurang bila dibandingkan rumah sakit diluar negeri.
f. Dalam menghadapi tuntutan kompensasi, ganti rugi oleh penderita, dengan adanya UU ini perlu diwaspadai pemanfaatan oleh pihak ke 3. Walaupun tuntutan ganti rugi atas kesalahan atau kekurangan, pelayanan rumah sakit/dokter terhadap seorang penderita, dapat menyebakan rumah sakit/dokter lebih berhati-hati dalam melaksanakan pelayanan kegiatan pelayanan, dan ini akan menyebakan peningkatan biaya yang akhirnya akan dipikul penderita secara keseluruhan. Hal ini dapat terjadi karena baik rumah sakit maupun dokter akan bekerja sama dengan asuransi guna melindungi dirinya, karena tuntutan bisa sangat besar dan tak akan terpikul oleh dokter maupun rumah sakit.
V bagaimana Penyelesaiannya Konsumen menurut UU pelindungan Konsumen No 8 tahun 1999
Hal lain yang menarik yang tercantum dalam UU No 8 tahun 1999 adalah dibentuknya Badan Perlindungan Konsumen Nasional (Bab VIII pasal 31 sd pasal 43), Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (Bab IX pasal 44) serta Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Bab XI pasal 49 sd pasal 58).
Jika pembentukan ketiga badan ini, terutama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dapat pula diberlakukan pada pelayanan kesehatan, jelas sangat menguntungkan. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang tercantum dalam UU No 8 tahun 1999 tersebut pada dasarnya sama dengan Badan Pengadilan Profesi yang telah lama didambakan.
Karena sesungguhnyalah, bagi profesi kedokteran, penyelesaikan sengketa pelayanan kesehatan, dipandang lebih baik jika diselesaikan melalui badan pengadilan profesi, bukan melalui badan pengadilan umum. Dengan perkataan lain jika badan pengadilan profesi ini dapat didirikan, pasti akan berdampak positif terhadap pelayanan kesehatan.
Masyarakat dan juga para penyelenggara pelayanan kesehatan akan memperoleh perlidungan hukum yang maksimal, sesuai dengan yang diperlukan Dicantumkannya pula ketentuan tentang penyelesaian sengketa (Bab X pasal 45 sd pasal 48), penyidikan (Bab XII pasal 59) serta sanksi administratif (Bab XIII pasal 60) juga merupakan suatu langkah maju yang menggembirakan.
Jika hal yang sama dapat pula diberlakukan pada pe!ayanan kesehatan, jelas sangat menguntungkan.
Karena sesungguhnyalah sampai saat ini tata cara penyelesaian sengketa pada pelayanan kesehatan, termasuk tata cara penyidikan serta sanksinya belum diatur secara tegas.
Akibatnya tidak mengherankan jika kepastian hukum untuk sengketa pelayanan kesehatan tidak pernah bisa jelas, yang dampaknya bukan saja merugikan konsumen yakni para pasien tetapi juga para penyelenggara pelayanan kesehatan.
PENYELESAIN SENGKETA
Pasal 45
1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengugat pelaku pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui pengadilan yang berada di lingkungan peradilan umum
2) Penyelesaiam sengketa konsumen dapat melalui pengadilan atau dilura pengadilan berdasarkan pilihan sukarela pada pihak yang bersengkata
3) Penyelesaian sengketa diluar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat(2) tidak menghilangan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang
4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengekata konsumen diluar pengadilan gugatan melalui pengailan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa
Pasal 46
(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh :
a. Seorang konsumen yang dirugikam atau ahli waris yang bersangkutan;
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat yaitu berbentuk badan hokum atau yayasan,yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dantelah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggran dasarnya;
d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yag dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau konsumen yang tidak sedikit;
(2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen,lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau d diajukan kepada peradilan umum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat(1) huruf d diatur dengan peraturan pemerintah.

Penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan
Pasal 47
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
Penyelesaian sengketa konsumen pengadilan
Pasal 48
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam pasa 45





















BAB III
KESIMPULAN

Didalam realitas bisnis tidak jarang dibedakan antara :
Consumer (konsumen) dan Custumer (pelanggan).
- Konsumen adalah semua orang atau masy. Tmsk pelanggan.
- Pelanggan adalah konsumen yang telah mengkonsumsi suatu
produk yang di produksi oleh produsen tertentu.
Konsumen Akhir dengan Konsumen Antara :
- Konsumen akhir adalah . Konsumen yang mengkonsumsi secara langsung produk yang diperolehnya;
- Konsumen antara adalah konsumen yang memperoleh produk untuk memproduksi produk lainnya.
Dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Hak dan kewajiban konsumen adalah sebagai berikut :
a. Pada dasarnya semua hak dan kewajiban baik untuk konsumen/penderita, maupun rumah sakit/dokter telah tercakup dalam ketentuan yang dikeluarkan Dep. Kes. RI. Dengan dikeluarkannya, UU No. 8 Th. 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka ketentuan-ketentuan tersebut diperkuat sehingga berpengaruh positif pada hubungan antara penderita, rumah sakit/dokter dan pemilik rumah sakit.
b. Perlu diwaspadai tentang hak yang berkaitan dengan tuntutan kompensasi/ganti rugi terhadap layanan yang dirasakan tidak sesuai dan ketentuan yang ada. Perlu adanya pengawasan agar adanya upaya pihak ke 3 yang berlebihan, ujung-ujungnya akan merugikan konsumen/penderita sendiri karena akan meningkatkan biaya pelayarian kesehatan secara umum.
Peran MKEK perlu ditingkatkan. Prakarsa adanya peradilan profesi merupakan langkah strtegis dalam menangani perselisihan antara rumeh sakit/dokter dengan penderita. Tetapi perlu pula diwaspadai adanya keterlibatan pihak ke 3 yang terlampau dalam. melanggar etika kedokteran dan etika rumah sakit.
hak dan kewajiban konsumen barang belum dapat terealisasi secara keseluruhan, utamanya berkaitan dengan perilaku untuk memperjuangkan hak seperti hak advokasi, memperoleh ganti rugi.
Hambatan-hambatan implementasi tersebut berhubungan dengan faktor-faktor tidak diketahuinya hak-dan kewajiban konsusmen tersebut secara terperinci.
Faktor lainnya menyangkut kesiapan dari kinerja intansi/lembaga-lembaga terkait, dalam hal ini Dinas Perindustrian “Perdagangan dan Penanaman Modal Kota Surakarta. Juga, sosialisasi masalah perlindungan konsumen yang masih kurang sebagai gerakan kemasyarakatan dalam rangka pemberdayaan konsumen.
Dari penelitian ini dapat diajukan rekomendasi adanya gerakan sosial mengenai pemberdayaan konsumen sehingga penting juga penggalakkan kegiatan-kegiatan sosialisasi.
Peningkatan kerjasama berbagai pihak mengenai perlindungan konsumen, seperti lembaga-lembaga pemerintah, organisasi kemasyarakatan mengenai konsumen, asosiasi pelaku usaha, dan perguruan tinggi. Lembaga-lembaga tersebut (terutama pemerintah) segera diwujudkan adanya kelengkapan keorganisasiannya yang bersangkutan dengan perlindungan konsumen.
Penelitian mengenai konsumen perlu ditindak-lanjuti menyangkut penegakan hukumnya ataupun kinerja kelembagaan-birokrasi pemerintah sehubungan dengan pelaksanaan UU Perlindungan Konsumen, dan juga penelitian sektor berkaitan dengan konsusmen yang lebih spesifik, misalnya perlindungan konsumen mengenai obat-obatan, atau makanan, atau perumahan.
Kesimpulan yang diperoleh bahwa implementasi UU No. 8 Tahun 1999, khususnya mengenai pelaksanaan hak-hak dan kewajiban konsumen barang belum dapat terealisasi secara keseluruhan, utamanya berkaitan dengan perilaku untuk memperjuangkan hak seperti hak advokasi, memperoleh ganti rugi.
Hal lain yang menarik yang tercantum dalam UU No 8 tahun 1999 adalah dibentuknya Badan Perlindungan Konsumen Nasional (Bab VIII pasal 31 sd pasal 43), Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (Bab IX pasal 44) serta Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Bab XI pasal 49 sd pasal 58).
Jika pembentukan ketiga badan ini, terutama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dapat pula diberlakukan pada pelayanan kesehatan, jelas sangat menguntungkan. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang tercantum dalam UU No 8 tahun 1999 tersebut pada dasarnya sama dengan Badan Pengadilan Profesi yang telah lama didambakan.
Penutup
Demikian telah diuraikan persepsi PERSI tentang UU NO. 8 Th. 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

DAFTAR PUSTAKA


1. A.W. Budiarso, dr - Persi Pusat, (1999),UU Perlindungan Konsumen dan dampaknya kepada pelayanan Rumah sakit,( Jakarta: Seminar Sehari IDI tentang Perlindungan Konsumen Pelayanan Kesehatan)
2. Undang- undang Nomor 8 Tahun, 1999 Tentang perlindungan Konsumen
3. Hukum perlindungan konsumen FAKULTAS HUKUM UPN “VETERAN” JATIM ,SURABAYA
4. Azwar Azrul Beberapa Catatan Tentang UU PERLINDUNGAN KONSUMEN Dan Dampaknya Terhadap Pelayanan Kesehatan
5. Agus Brotosusilo. 1992. Hak-hak Produsen dalam Hukum Perlindungan Konsumenâ Majalah Hukum dan Pembangunan, edisi Oktober 1992. Jakarta: Fakultas Hukum

lembaga pembiayaan

LEMBAGA PEMBIAYAAN
PENGERTIAN
 Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat.
 Lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang didirikan secara khusus untuk melakukan kegiatan termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan.
DASAR HUKUM
 Keputusan presiden No 61/1988
 Keputusan Menteri Keuangan No 1251/KMK.013?1988 tentang Ketentuan dan Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan
Secara umum Lembaga pembiayaan dapat dibagi dalam 6 Bidang yaitu:
1. Sewa guna usaha(leasing)
2. Modal Ventura(ventura capital);
3. Perdagangan Surat berharga;
4. Anjak piutang(factoring);
5. Usaha kartu Kredit;
6. Pembiayaan Konsumen
1.Sewa guna usaha(leasing)
PENGERTIAN
• Kata leasing sebenarnya berasal dari kata to lease(bahasa Inggris) yang berarti menyewakan
• Keputusan bersama leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam untuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu
• Kegiatan leasing dapat dilakukan secara finance maupun operating lease. Finance lease. Artinya kegiatan sewa guna usaha pada akhir masa kontrak sedangkan operating lease adalah sewa guna usaha penyewa guna usaha tidak mempunyai hak opsi untuk membeli objek sewa guna usaha.
• Perusahaan Sewa Guna Usaha (Leasing Company) adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan
• Ruang lingkup Pabrik dan perusahaan
• Syarat-syarat sewa guna usaha
DASAR HUKUM
 Surat keputusan bersama menteri keuangan .Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan dan Koperasi NO: Kep-122?MK/IV/1/1974;NO.32?M/SK?2?1974;dan No 30?Kpb/I?1974
BENTUK
 Sewa beli (hire purchase) adalah jual beli barang dimana penjual melaksanakan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli yang dengan pelunasan atas harga yang disepakati bersama dan yang diikat oleh suatu perjanjian ,serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual
 Jual beli secara berangsur adalah jual beli dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara menerima pelunasan pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dalam beberapa kali angsuran atas harga barang yang telah disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian ,serta hak milik atas barang tersebut beralih dari penjual kepada pembeli pada saat barangnya diserahkan oleh penjual kepada barang.
 Finance Lease adalah kegiatan Sewa Guna Usaha, dimana Penyewa Guna Usaha pada akhir masa kontrak mempunyai hak opsi untuk membeli objek sewa guna usaha berdasarkan nilai sisa yang disepakati bersama.
 Operating Lease adalah kegiatan Sewa Guna Usaha dimana Penyewa Guna Usaha tidak mempunyai hak opsi untuk membeli objek sewa guna usaha.
 pengadaan barang modal bagi penyewa Penyewa Guna Usaha, baik dengan maupun tanpa hak opsi untuk membeli barang
Jenis-jenis
 Direct financinglease (penyewaan untuk pembiayaan langsung) perusahaan leasing bertindak sebagai lembaga keuangan dan memilih penyewa untuk menggunakan peralatan khusus tertentu yang dimilikinya.
 Operasing lease (penyewaan untuk Koperasi) merupakan penyewaan yang tidak memenuhi kriteria untuk pembiayaan langsung.
 Penyewa Guna Usaha (Lessee) adalah perusahaan atau perorangan yang menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari pihak Perusahaan Sewa Guna Usaha (Lessor)
2.MODAL VENTURA
PENGERTIAN
 MODAL VENTURA merupakan salah satu alternatif yang dapat dimanfaatkan oleh suatu perusahaan
 Lembaga modal ventura merupakan suatu alternatif lembaga pembiayaan lain diluar Bank.
 Ruang lingkup dari Ventura
a. PPU adalah suatu perusahaan yang memperoleh pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal dari perusahaan modal ventura.
b. PMV adalah perusahaan modal ventura
 Pergusahaan kecil dan menengah
 Syarat-syarat untuki diberi izin usaha dari menteri keuangan
a. Akte pendirian perusahaan
b. Bukti pelunasan Modal
c.Daftar susunan pengurus perusahaan-perusaan pembiayaan
d. NPWP (Nomor Pokok wajib pajak)
e. Neraca pembukuan
f. Perjanjian usaha patungan antara pihak asing dengan pihak Indonesia
DASAR HUKUM MODAL VENTURA
 Keppres NO 61/1988 Tentang Lembaga Pembiayaan
 Keputusan Menteri Keuangan NO 1251/KMK.013?1988 Tentang Kententuan dan Tata Cara Pelaksanaa Lembaga Pembiayaan
BENTUK
a. Pengembanga suatu penemuan baru
b. Pengembangan perusahaan yang pada tahap awal usahanya mengalami kesulitan dana
c. Membantu perusahaan yang berada pada tahap pengembangan
d. Membantu perusahaan yang berada dalam tahap kemunduran usaha
e. Pengembangan proyek penelitian dan rekayasa
f. Pengembangan perbagai penggunaan teknologi baru dan alih teknologi baik dari dalam maupun luar negeri
g. Membantu pengalihan pemilikan perusahaan
Jenis-jenis
a. Conventional Loan adalah pinjaman jenis ini adalah bisa diberikan tanpa jaminan dan adalah bisa pula disertai dengan jaminan.
b. Conditional Loan dalam model ini modal ventura turut menikmati laba ,bila proyek yang dibiayai menanggung keuntungan dan turut pula menanggung rugi seandainya perusahaan yang dibiayai ternyata mengalami kerugian
c. Equity Investmen yaitu modal ventura yang menyertakan saham untuk mendukung kegiatan perusahaan yang baru berdiri dan antara modal ventura dengan perusahaan yang dibiayai terjalin kerja sama dibidang manajemen
3.Anjak Piutang(Factoring)
PENGERTIAN
 Lembaga anjak piutang atau factoring merupakan Lembaga Pembiayaan yang dalam melakukan lembaga pembiayaan yang dalam melakukan usaha pembiayaannya
 Perusahaan Anjak Piutang (Factoring Company) adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri.
 Ruang lingkup
a. Perusahaan factoring adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri.
b. klien(perdagang,pabrik,pemilik toko,petani) adalah perusahaan yang menjual dan atau mengalihkan piutang atau tagihannya yang timbul dari transaksi perdagangan kepada Perusahaan Anjak Piutang.
c. Customer dakah pihak berutang kepada klien
 Syarat-syarat pengalihan Multak dilakukan oleh klien terhadap perusahaan fectoring atas utang pihak ketiga
DASAR HUKUM
Pasal 1338KUHPerdata
BENTUK
 Pembelian atau pengalihan piutang/tagihan jangka pendek dari suatu transaksi perdagangan dalam dan luar negeri.
 Penata usahaan penjualan kredit serta penagihan pitang perusahaan klien.
Jenis-jenis
 Eksportir membuta perjanjian factoring (factoring agreement)dengan perusahaan factor
 Importir mengajukan permohonan credit limit tertentu sehubungan dengan rencana eksport yang bersangkutan kepada importer di Amerika
 Eksport factor memilih salah satu importer factor di Amerika
 Import factor melakukan penyelidikan credit investigasi untuk mengetahui credit standing dari importer.
 Perdagang dalam negeri
 Pabrik tekstil
4.Usaha Kartu Kredit (Credit Card Company)
PENGERTIAN
 Perusahaan Kartu Kredit (Credit Card Company) adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk membeli barang dan jasa dengan menggunakan kartu kredit.
 Kartu kredit atau yang dikenal dengan credit card adalah suatu kartu plastik yang berukuran sama ukuran dengan KTP
 Ruang lingkup:
a. Restoran
b. Supermarket
c. Rumah sakit
d. Apotek
e. Travel agen
f. diskotik/bar
g. Music store
h. Perusahaan Taksi
i. Visa
 Syarat-syarat adalah Harus ada akta-akta dibwah tangan dan tidak mudah harus ada jamin kredit
Dasar Hukum
 Hukum kebebasab berkontrak antara pihak berlandaskan pasal 1338 KUHPerdata
 Meskipun belum ada dasar Hukum yang menjamin kepastian Hukum yang khusus mengatur masalah kartu Kredit.
BENTUK
 penerbitan kartu kredit yang dapat dimanfaatkan oleh pemegangnya untuk pembayaran pengadaan barang dan jasa.
Jenis-jenis
 Visa BII Card terdapat Visa Premier card dan Visa Clasic Card
 Amex Card terdapat Green Card,Gold Card dan Plantinum Card
 BCA Card
 Dinners Card
 Master Card
5.Pembiayaan Konsumen (Consumers Finance Company)
PENGERTIAN
 Pembiayaan Konsumen (Consumers Finance Company) adalah suatu lembaga yang dalam melakukan pembiayaan pengadaan barang untuk kebutuhan konsumen
 Ruang lingkup:
a.Bank
b Lembaga Keuangan Bukan Bank
c.Perusahaan Pembiayaan
 syarat-syarat:
- persyaratan yang tidak Rumit
- proses penelitian konsumen oleh bank/lembaga keuangan
- jangka waktu untuk memutuskan
- berapa jumlah Rupiah yang diberikan
- berapa suku bunga yang ditawarkan
Dasar Hukum
 SK Menteri Keuangan No 1251/KMK.013?1988
BENTUK
 penyedia dana bagi konsumen untuk pembelian barang yang pembayarannya dilakukan secara angsuran atau berkala oleh konsumen.
 Perseroan Terbatas (PT)
a. Warga Negara Indonesia dan atau Badan Hukum Indonesia
b. Badan Usaha Asing
c. Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia (usaha Patungan).
 saham Perusahaan Pembiayaan
Jenis-jenis
Barang-barang konsumen:
 Mobil
 Pesawat TV
 Radio
 Tape recorder
 Lemari es
 Tempat tidur

PENGANTAR DASAR-DASAR PERPAJAKAN Dan Hukum Pajak dan Pemungutnya Menurut Islam

BAB I
PENDAHULUAN

PENGANTAR DASAR-DASAR PERPAJAKAN
A. PENDAHULUAN
Sebelum menelusuri lebih jauh tentang perpajakan, apa salahnya kalau kita tahu definisi pajak itu sendiri dan fungsi serta ciri-cirinya :
Definisi pajak itu sendiri adalah berupa iuran masyrakat kepada kas negara yang bersifat memaksa tanpa imbalan sedikitpun yang diatur oleh UU. Lembaga pemerintah yang mengatur dan mengelola perpajakan di Indonesia yaitu Direktorat Jendral Pajak (DJP) yang bernaung pada Departeman Keuangan Republik Indonesia.
Fungsi pajak itu ada 4 diantaranya sebagai berikut :
• Fungsi anggaran (budgetair)
Pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara, untuk melaksanakan pembangunan negara membutuhkan biaya, nah biayanya itu dari penerimaan pajak yang kita bayarkan kepada DJP. Tapi kini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja negara, belanja pegawai, pemeliharaan, dan dsb. Untuk pembangunan uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pembiayaan rutin.
• Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonmi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak dapat dimanfaatkan sebagai alat pencapaian tujuan, Contohnya pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk non domestik dalam rangka melindungi produksi domestik, serta diberikan berbagai fasilitas keringanan pajak.
• Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efesien.
• Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan.
Ciri-ciri pajak :
• Pajak dipungut berdasarkan dengan undang-undang
Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang.
• Tidak ada jasa timbal balik
Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor.
• Pemungutan pajak dapat dipaksakan
Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang.
• Pemungutan pajak semata-mata untuk pembiayaan-pembiayaan
Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur / regulatif).
a. LATAR BELAKANG
1. Tujuan Instruksional Umum
Setelah menempuh mata kuliah ini diharapkan mahasiswa mampu secara teoritis dan praksis memahami konsep perpajakan dan pengaturannya dalam hukum positif yang berlaku sehingga dapat memperluas wacana perpajakan terkait dengan sistem perpajakan nasional dan daerah, serta memiliki kemampuan menghitung dan menginterpretasikan pajak penghasilan
2. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa diharapkan dapat memahami dan menjelaskan mengenai dasar-dasar perpajakan, baik:
b. Permasalahan
1.Sejarah perkembangan pemungutan pajak
2.Pengertian dasar dan ciri-ciri pajak,
3. fungsi-fungsi pajak,
4.perbedaan pajak dengan jenis pungutan lainnya,
5.Syarat-syarat dan asas pemungutan pajak,
6Jutifikasi teori pemungutan pajak,
7. pembedaan dan penggolongan pajak,
8 Sistem Perpajakan dan tarif pajak.
9. Hukum Pajak dan Pemungutnya Menurut Islam
10. DEFINISI PAJAK
11. MACAM-MACAM PAJAK
12. ADAKAH PAJAK BUMI/KHARAJ DALAM ISLAM?
13. HUKUM PAJAK DAN PEMUNGUTNYA MENURUT ISLAM
14. KESEPAKATAN ULAMA ATAS HARAMNYA PAJAK
15 PAJAK BUKAN ZAKAT

BAB II
PEMBAHASAN

1. Sejarah Perkembangan Pemungutan Pajak
Pada awalnya pajak belum merupakan suatu pungutan melainkan hanya pemberian sukarela dari rakyat pada Raja. Jauh sebelum zaman Romawi dan Yunani Kuno serta zaman Firaun di Mesir, telah ada suatu wadah yang menguasai dan memerintah penduduk. Le Contract Social atau perjanjian masyarakat yang dikemukakan oleh Rousseau adalah teori yang menjawab pertanyaan mengapa penduduk/rakyat harus patuh pada pemerintah negaranya. Bahwa sebagian dari hak mereka diserahkan kepada suatu wadah yang akan mengurus kepentingan bersama. Wadah mana kemudian dikenal sebagai L’etat, Staat, State, Negara. Eksistensi pajak sebagai species dari genus pungutan telah ada sejak zaman Romawi. Pada awal Republik Roma (509-27 SM) dikenal beberapa jenis pungutan seperti censor, questor dan beberapa jenis pungutan lain. Pelaksanaan pemungutannya diserahkan kepada warga tertentu yang disebut publican. Tributum sebagai pajak langsung (pajak atas kepala = head tax) dipungut pada zaman perang terhadap penduduk Roma sampai tahun 167 SM. Sesudah abad ke 2 penguasa Roma mengandalkan pada pajak tidak langsung yang disebut vegtigalia seperti portoria yakni pungutan atas penggunaan pelabuhan. Di zaman Julius Caesar dikenal Centesima Rerum Venalium yakni sejenis pajak penjualan dengan kataka 1% dari omzet penjualan. Di daerah lain di Italia dikenal decumae, yakni pungutan sebesar 10% (tithe) dari para petani atau penguasa tanah. Setiap penduduk di Italia, termasuk penduduk Roma sendiri dikenakan tributum yang tetap dan sering kali disebut juga stipendium. Demikian pula di Mesir, pembuatan piramida yang tadinya merupakan pengabdian dan bersifat suka rela dari rakyat Mesir, pada akhirnya menjadi paksaan, bukan saja dalam bentuk uang, harta kekayaan, tetapi juga dalam bentuk kerja paksa. Pada abad ke XIV di Spanyol dikenal alcabala, salah satu bentuk pajak penjualan. Di Indonesia, berbagai pungutan baik dalam bentuk natura (payment in kind), kerja paksa maupun dengan uang dan upeti telah lama dikenal. Pungutan dan beban rakyat Indonesia semakin terasa besarnya, terutama sesudah berdirinya VOC tahun 1602, dan dilanjutkan dengan pemerintahan colonial Belanda. Ada berbagai macam fungsi pemerintah suatu kataka yaitu melaksanakan penertiban (law and order); mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya; Pertahanan; dan menegakkan keadilan yang hal ini dilaksanakan melalui badan-badan pengadilan. Terdapat berbagai sumber Penghasilan suatu kataka (Public Revenues), antara lain terdiri dari pajak dan denda, kekayaan alam, atakan cukai, kontribusi, katakan, retribusi, iuran, sumbangan, laba dari badan usaha milik kataka dan sumber-sumber lainnya. Kontribusi adalah pungutan yang dilakukan pemerintah kepada sejumlah penduduk yang menggunakan fasilitas yang telah disediakan oleh Dalam menyediakan fasilitas tersebut pemerintah telah mengeluarkan sejumlah biaya. Kontribusi yang di pungut adalah untuk mengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Pemerintah berwenang untuk memungut bea pada waktu ada barang-barang yang masuk atau keluar daerah pabean. Pemerintah juga berwenang untuk memungut cukai pada waktu pembuatan rokok, gula, katakan dan hasil sulingan lainnya. Pemerintah berwenang untuk mengenakan denda kepada penduduk yang melanggar ketentuan yang telah ditetapkan pemerintah. Misalnya denda karena melanggar rambu-rambu lalu lintas. Pemerintah (Pusat atau Daerah) maupun Lembaga Pemerintah lainnya berwenang untuk mengadakan pungutanpungutan tertentu seperti uang tambang, leges, uang NTR (nikah, talak, rujuk) dan sebagainya.
BEA CUKAI adalah pungutan kataka yg dilakukan oleh Dirjen Bea
Cukai berdasarkan UU Kepabeanan yg berlaku (UU 10/1995). Kepabeanan adalah segala sesuatu yg berhubungan dgn pengawasan dan pemungutan Bea Masuk atas lalulintas barang yg masuk/keluar daerah pabean. Daerah Pabean adalah wilayah RI (darat, perariran, udara, ZEE dan landas kontinen yg di dalamnya berlaku UU Kepabeanan. Sedangkan Cukai adalah pungutan Negara yang dikenakan terhadap barang-barang yang mempunyai karakteristik tertentu sesuai penetapan UU.
RETRIBUSI adalah pungutan yang dilakukan secara langsung oleh kataka sehubungan dengan penggunaan jasa yang disediakan oleh kataka, baik berupa Jasa Umum, jasa Usaha maupun Perizinan tertentu tanpa mendapat kontraprestasi dari kataka. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur dalam UU No. 19/1997
IURAN adalah pungutan yang dilakukan Negara sehubungan dengan penggunaan jasa yang disediakan oleh ataka untuk kepentingan sekolompok orang (sekelompok orang mendapat jasa langsung (kontraprestasi), seperti Iuran
TV, air, listrik dll.
SUMBANGAN adalah pungutan yang dilakukan Negara bagi golongan penduduk tertentu saja karena prestasi itu tidak ditujukan kepada penduduk seluruhnya sehingga biaya-biaya yg dikeluarkan dari kas umum utk prestasi pemerintah tertentu tidak boleh dikeluarkan dari Kas Umum. Laba dari BUMN adalah pendapatan kataka yg didapatkan dari penghasilan BUMN baik Persero, FERUM dan Perjan untuk dimasukkan dalam APBN. Sedangkan sumber pendapatan lain didapat, misalnya dari pencetakan uang (deficit spending), Pinjaman maupun Penerimaan Pembangunan dan Royalti.
2. Pengertian Dasar Dan Ciri-Ciri Pajak
Pajak dalam istilah asing disebut: tax (Inggris); import contribution, taxe, droit (Perancis); Steuer, Abgabe, Gebuhr (Jerman); impuesto contribution, katakan, gravamen, tasa (Spannyol) dan belasting (Belanda). Dalam literature Amerika selain istilah tax dikenal pula istilah kataka. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas kataka berdasarkan undang-undang (sehingga dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma katak guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Pajak adalah bantuan baik langsung maupun tidak langsung yang dipaksakan oleh kekuasan kataka dari penduduk atau dari barang utk menutup belanja pemerintah. Pajak juga berarti bantuan uang secara katakanake atau secara katakana yang dipungut oleh badan yang bersifat umum (kataka) untuk memperoleh pendapatan tanpa adanya kontraprestasi, di mana terjadi suatu taabestand dan sasaran pajak telah menimbulkan utang pajak karena UU. Dengan demikian pajak adalah hak katakankek pemerintah, iuran wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (wajib pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin kataka dan biaya pembangunan tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung didasarkan undang-undang. Pemungutannya dapat dipaksakan kepada subyek pajak untuk mana tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjuk penggunaannya. Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan kataka di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia. Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang “pajak” yang
dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah :
- Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada kataka (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk danyang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas kataka untuk menyelenggarakan pemerintahan.
- Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa katakan (kontra prestasi/tegen prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
- Menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari kataka swasta ke sector pemerintah, bukan akibat pelanggaran katak, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
- Menurut Smeets, pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum dan dapat dipaksakan tanpa adanya kontraprestasi yg dapat ditunjukkan dalam hak individual untuk membiayai pengeluaran pemerintah.
- Sedangkan menurut Suparman Sumawidjaya pajak adalah iuran wajib berupa barang yg dipungut oleh penguasa berdasarkan norma katak, guna menutup biaya produksi barang dan jasa kolektif dalam mencapai kesejahteran umum. Karakteristik pokok dari pajak adalah pemunngutannya harus berdasarkan undang-undang. Sehingga diperlukan perumusan macam pajak dan berat ringannya kataka pajak itu, untuk itulah masyarakat ikut di dalam menetapkan rumusannya. Sedangkan lima ataka pokok dalam defenisi pajak adalah:
1). Iuran/pungutan dari rakyat kepada kataka
2). Pajak dipungut berdasarkan undang-undang
3). Pajak dapat dipaksakan
4). Tanpa jasa katakan atau kontraprestasi
5). Digunakan untuk membiayai rumah tangga kataka (pengeluaran umum
pemerintah)
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari ataka privat kepada kataka kataka. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan kataka dalam penyediaan barang dan jasa ataka yang merupakan kebutuhan masyarakat.,Sementara pemahaman pajak dari perspektif katak menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga ataka untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada kataka, kataka mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan katak ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdsarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian atak, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak. Dari berbagai definisi dan kataka pajak baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari ataka swasta ke ataka pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang atak-ciri yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut:
1). Pajak dipungut oleh ataka baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berdasarkan atas undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
2). Pemungutan pajak mengisyaratkan adanya alih dana (sumber daya) dari ataka swasta (wajib pajak membayar pajak) ke ataka ataka (pemungut pajak/administrator pajak).
3). Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
4). Tidak dapat ditunjukkan adanya imbalan (kontraprestasi) individual oleh pemerintah terhadap pembayaran pajak yang dilakukan oleh para wajib pajak.
5). Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan ataka dalam lapangan ekonomi dan ataka (fungsi mengatur / atakanae).
3. Fungsi-Fungsi Pajak
Kata fungsi bermakna jabatan, faal, besaran dan kegunaan. Namun pengertian yang paling tepat yang sering dipakai pada fungsi perpajakan ialah kata kegunaan. Jadi makna fungsi pajak bila dilihat dari kata kegunaan itu lebih cenderung kepada kegunaan pokok atau manfaat pokok dari pajak itu sendiri. Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan ataka untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
a. Fungsi anggaran (budgetair); Fungsi budgeteir merupakan fungsi utama pajak dan fungsi fiscal. Disebut fungsi utama karena fungsi inilah yang secara atakana pertama kali timbul. Berdasarkan fungsi ini, pemerintah yang membutuhkan dana untuk membiayai berbagai kepentingan memungut pajak dari penduduknya. Dengan demikian fungsi budgetair adalah kegunaan pajak sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas ataka berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku “segala pajak untuk keperluan ataka berdasarkan undang-undang”. Yang dimaksud dengan memasukkan kas secara optimal adalah sebagai berikut:
- Jangan sampai ada wajib pajak/subjek pajak yang tidak membayar kewajiban pajaknya;
- Jangan sampai wajib pajak tidak melaporkan objek pajak kepada fiskus;
- Jangan sampai ada objek pajak dai pengamatan dan perhitungan fiskus yang terlepas.Maka optimalisasi pemasukan dana ke kas ataka tidak hanya tergantung kepada fiskus saja atau kepada Wajib Pajak saja, akan tetapi tercipta atas usaha kedua-duanya; wajib pajak dan fiskus berdasarkan Undang-undang Perpajakan yang berlaku. Sebagai sumber pendapatan ataka, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran ataka. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin ataka dan melaksanakan pembangunan, ataka membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pahak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari ataka pajak.
b. Fungsi mengatur (regulerend); Fungsi regulerend atau fungsi mengatur merupakan fungsi tambahan, karena fungsi ini hanya sebagai pelengkap dari fungsi utama pajak. Fungsi regulerend yaitu suatu fungsi dalam mana pajak dipergunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Melalui pajak, pemerintah kata mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak kata digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pajak dipakai sebagai alat kebijakan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri; Pajak atas minuman keras ditinggikan untuk mengurangi konsumsi. Fasilitas perpajakan sebagai perwujudan dari fungsi pajak regulerend yang terdapat dalam UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing juncto UU No. 11 tahun 1970 adalah Bea Meterai Modal, Bea Masuk dan Pajak Penjualan, Bea Balik Nama, Pajak Perseroan seperti kompensasi kerugian seperti yang diatur dalam pasal 7 ayat (1) Ordonansi Pajak Perseroan 1925. Fasilitas perpajakan sebagai perwujudan dari fungsi pajak regulerend yang terdapat pada pasal 16 UU No. 11 tahun 1970 ditujukan kepada badan-badan baru yang menanam modalnya di bidang produksi yang mendapat prioritas dari Pemerintah, Menteri Keuangan berwenang memberikan pembebasan pajak perseroan untuk jangka waktu 2 (dua) tahun (masa bebas pajak) terhitung dari saat perusahaan tersebut mulai berproduksi. Fungsi Regulerend dalam tax reform 1983 dapat ditemukan dalam memberikan kesempatan kepada koperasi supaya berkembang. Ditentukan bahwa penghasilan Koperasi dari dan untuk anggota tidak dianggap sebagai penghasilan. Juga kepada Wajib Pajak yang menanamkan modalnya di daerah terpencil dapat memperoleh kemudahan dalam penyusutan harta yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan. Demikian pula kataka regulerend pada UU PPN 1984 dapat ditemukan jataka 0% untuk barang-barang esensial dan hataka 10% dan 35% untuk barang mewah. Dalam UU PPB 1985 dapat ditemukan ketentuan tentang pengurangan pajak karena sebab-sebab tertentu. Selanjutnya dalam tax reform tahun 1994, dapat ditemukan dalam Pasal 31 A. Disebutkan bahwa “Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerahdaerahtertentu, dapat diberikan fasilitas perpajakan yang diatur dengan peraturan pemerintah”. Pasal ini memberi wewenang yang sangat luas kepada pemerintah, karena fasilitas perpajakan yang disebutkan dalam pasal ini tidak secara katakana ke atau spesifik diuraikan. Dalam perkembangannya, atas kuasa pasal 31A ini, Pemerintah dengan Peraturan Pemeritah memberikan fasilitas berupa “Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah” kepada perusahaan-perusahaan tertentu. Walaupun tidak secara eksplisit fasilitas tersebut disebut sebagai tax holiday, akan tetapi pada dasarnya karena Wajib Pajak yang bersangkutan tidak akan membayar Pajak Penghasilan karena Pajak Penghasilannya ditanggung Pemerintah, maka pada hakikatnya fasilitas tersebut adalah tax holiday. Hal ini menimbulkan berbagai distorsi dan ketidakadilan dalam perpajakan. Dalam reformasi pajak tahun 2000, ketentuan yang memberikan wewenang begitu luas kepada Pemerintah berupa pemberian fasilitas pajak yang ditanggung pemerintah telah dicabut. Jenis fasilitas dirumuskan dengan jelas batasannya, spesifik dan katakana kee seperti akan diuraikan di bawah ini. Fungsi regulerend dalam tax reform 2000 diatur dalam Pasal 31A Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, yaitu; “kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan atau daerah tertentu dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk: (a) pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen dari jumlah penanaman yang dilakukan; (b). penyusutan dan amortisasi yang dipercepat; (c). kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan (d). pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar 10% (sepuluh persen), kecuali apabila kataka menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah.
c. Fungsi stabilitas; Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini ata dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efesien.
d. Fungsi redistribusi pendapatan Pajak yang sudah dipungut oleh ataka akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
4. Syarat-Syarat dan Asas-Asas Pemungutan Pajak
Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai masalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Pemungutan pajak harus adil; Seperti halnya produk katak pajak pun mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya. Contohnya:
Dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak;
Pajak diberlakukan bagi setiap warga ataka yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak;
Sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat pelanggaran.
b. Pengaturan pajak harus berdasarkan UU; Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: “Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan ataka diatur dengan Undang-Undang”, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu:
Pemungutan pajak yang dilakukan oleh kataka yang berdasarkan UU tersebut harus dijamin kelancarannya
Jaminan jatak bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum
Jaminan atak akan terjaganya kerasahiaan bagi para wajib pajak
c. Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah.
d. Pemungutan pajak harus efesien Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, kataka pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu.
e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika ataka pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak. Contoh:
Bea materai disederhanakan dari 167 macam kataka menjadi 2 macam kataka
Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu kataka, yaitu 10%
Pajak perseorangan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan maupun perseorangan (pribadi)
A.TINJAUN TEORI UMUM TENTANG HUKUM PAJAK
asas-asas pemungutan pajak adalah asas untuk dapat mencapai tujuan dari pemungutan pajak, beberapa ahli yang mengemukakan tentang asas pemungutan pajak, antara lain:
a. Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal “The Four Maxims”, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut.
1). Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan): pemungutan pajak yang dilakukan oleh kataka harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak.
2). Asas Certainty (asas kepastian katak): semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi katak.
3). Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pakak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.
4). Asas Effeciency (asas efesien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak. B. Menurut W.J. Langen, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut.
1). Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan.
2). Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh kataka harus digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.
3). Asas kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh kataka digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
4). Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama).
5). Asas beban yang sekecil-kecilnya: pemungutan pajak diusahakan sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandinglan sengan nilai obyek pajak. Sehingga tidak memberatkan para wajib pajak.
c. Menurut Adolf Wagner, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:
1). Asas politik katakanak: pajak yang dipungut ataka jumlahnya memadai sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan kataka
2). Asas ekonomi: penentuan obyek pajak harus tepat, agar pemungutan pajak jangan sampai menghalangi produksi dan perekonomian rakyat Misalnya: pajak pendapatan, pajak untuk barang-barang mewah
3). Asas keadilan yaitu pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi, untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula.
4). Asas administrasi: menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan, dimana harus membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara membayarnya) dan besarnya biaya pajak.
5). Asas yuridis segala pungutan pajak harus berdasarkan Undang- Undang.
d. Menurut Era Saligman, empat asas atau prinsip pemungutan pajak adalah:
1). Asas/Prinsip ataka: pajak yang dipungut ataka adalah untuk memastikan stabilitas ataka nasional.
2). Asas/Prinsip ekonomis: pajak dipungut dengan memperhatiakan kekuatan ekonomi rakyat wajib pajak.
3). Asas/Prinsip etika yaitu pungutan pajak diberlakukan secara luwes dan beretika sehingga tidak menyinggung kehormatan dan martabat wajib pajak.
4). Asas/Prinsip katakanakeklke: menyangkut masalah administrasi
perpajakan. Dari berbagai pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa pemungutan pajak harus memenuhi syarat-syarat: Syarat keadilan; Syarat Yuridis; Syarat ekonomis; Syarat Finansial dan Sistem pemungutan yang sederhana. Berkaitan dengan Asas Pengenaan Pajak, agar kataka dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan kataka tersebut, tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh diIndonesia, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala pajak untuk keuangan kataka ditetapkan berdasarkan undang-undang. Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas-asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh Negara untuk mengenakan pajak. Menurut Adam Smith prinsip umum Pengenaan Pajak adalah:
1). Distribusi dari beban pajak harus adil
2). Pajak-pajak harus sedikit mungkin mencampuri keputusan-keputusanMekonomi
3). Pajak-pajak haruslah memperbaiki ketidakefisienan yang terjadi di kataka swasta
4). Struktur pajak haruslah mampu digunakan dalam kebijakan kataka
5). Sistem pajak harus dimengerti oleh wajib pajak
6). Administrasi pajak dan biaya pelaksanaanya haruslah sesedikit mungkin
7). Kepastian
8). Dapat dilaksanakan
9). Dapat diterima
Di samping itu, terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh Negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak,khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan.
B. TINJAUN TEORI KHUSUS TENTANG HUKUM PAJAK
Asas utama yang paling sering digunakan oleh kataka sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah:
1). Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence principle), berdasarkan asas ini kataka akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di ataka itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di ataka itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi ataka yang menganut asas ini, dalam system pengenaan pajak terhadap penduduk-nya akan menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di ataka itu maupun penghasilan yang diperoleh diluar negeri (world-wide income concept).
2). Asas sumber; ataka yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di ataka itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan penge¬naan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari Negara itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.
3). Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan (nationality/citizenship principle). Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas domisili, ataka pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan cara menggabungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas world wide income.Terdapat beberapa perbedaan prinsipil antara asas domisili atau kependudukan dan asas nasionalitas atau kewarganegaraan di satu pihak, dengan asas sumber di pihak lainnya. Pertama, pada kedua asas yang disebut pertama, atakana yang dijadikan landasan kewenangan ataka untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang akan dikenakan pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai penduduk atau berdomisili (dalam asas domisili) atau berstatus sebagai warga ataka (dalam asas nasionalitas). Di sini, asal muasal penghasilan yang menjadi objek pajak tidaklah begitu penting. Sementara itu, pada asas sumber, yang menjadi landasannya adalah status objeknya, yaitu apakah objek yang akan dikenakan pajak bersumber dari Negara itu atau tidak. Status dari orang atau badan yang memperoleh atau menerima penghasilan tidak begitu penting. Kedua, pada kedua asas yang disebut pertama, pajak akan dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh di mana saja (worldwide income), sedangkan pada asas sumber, penghasilan yang dapat dikenakan pajak hanya terbatas pada penghasilan-penghasilan yang diperoleh dari sumbersumber yang ada di ataka yang bersangkutan. Kebanyakan ataka, tidak hanya mengadopsi salah satu asas saja, tetapi mengadopsi lebih dari satu asas, ata gabungan asas domisili dengan asas sumber, gabungan asas nasionalitas dengan asas sumber, bahkan ata gabungan ketiganya sekaligus.
Indonesia, dari ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, khususnya yang mengatur mengenai subjek pajak dan objek pajak, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut asas domisili dan asas sumber sekaligus dalam ataka perpajakannya. Indonesia juga menganut asas kewarganegaraan yang parsial, yaitu khusus dalam ketentuan yang mengatur mengenai pengecualian subjek pajak untuk orang pribadi.
Jepang, misalnya untuk individu yang merupakan penduduk (resident individual) menggunakan asas domisili, di mana berdasarkan asas ini seorang penduduk Jepang berkewajiban membayar pajak penghasilan atas keseluruhan penghasilan yang diperolehnya, baik yang diperoleh di Jepang maupun di luar Jepang. Sementara itu, untuk yang bukan penduduk (non-resident) Jepang, dan badan-badan usaha luar negeri berkewajiban untuk membayar pajak penghasilan atas setiap penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber di Jepang.
Australia, untuk semua badan usaha milik ataka maupun swasta yang berkedudukan di Australia, dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperoleh dari seluruh sumber penghasilan. Semen¬tara itu, untuk badan usaha luar negeri, hanya dikenakan pajak atas penghasilan dari sumber yang ada di Australia.
5. Justifikasi Teori Pemungutan Pajak
Mengapa fiskus suatu ataka berhak memungut pajak dari penduduknya? Dalam hal ini akan dikemukakan justifikasi teori pemungutan pajak dan atakan-alasan yang menjadi dasar pembenaran pemungutan pajak oleh fiskus ataka, sehingga fiskus ataka merasa punya wewenang untuk memungut pajak dari penduduknya. Di dalam atakana e Ilmu Keuangan Negara terdapat dua pendekatan yang merupakan dasar bagi fiskus untuk memungut pajak yakni benefit principle dan atakan to pay principle. Secara sederhana kedua prinsip tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Benefit principle pada intinya menjelaskan, bahwa fiskus berwenang memungut pajak karena penduduk menerima manfaat dari adanya ataka, antara seperti dikatakan Otto Eckstein …The benefit principle calls for a distribution of taxes in accordance with the benefits received from the expenditures on which the taxes are spent. Terkait dengan Teori Pemungutan Pajak, R. Santoso Brotodiharjo SH, dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak menyebutkan ada beberapa teori yang mendasari adanya pemungutan pajak, yaitu:
a. Teori asuransi Menurut teori asuransi, fiskus berhak memungut pajak dari penduduknya, karena ataka dianggap identik dengan perusahaan asuransi, dan wajib pajak adalah tertanggung yang wajib membayar premi dalam hal ini pajak. Negara berhak memungut pajak dari penduduk karena Negara bertugas melindungi semua rakyat dan rakyat membayar premi pada ataka. Teori ini banyak ditentang karena ataka tidak boleh disamakan dengan perusahaan asuransi.Namun teori ini mempunyai kelemahan-kelemahan, antara lain dengan eksistensi imbalan yang akan diberikan ataka jika tertanggung dalam hal ini wajib pajak menderita risiko. Sebab sebagaimana kenyataannya, ataka tidak pernah memberi uang santunan kepada wajib pajak yang tertimpa musibah. Lagi pula kalau ada imbalan dalam pajak, maka hal itu sebenarnya bertentangan dengan ataka dalam definisi pajak itu sendiri.
b. Teori kepentingan. Para penganut teori ini mengatakan, bahwa ataka berhak memungut pajak dari penduduknya, karena penduduk ataka tersebut mempunyai kepentingan kepada ataka. Makin besar kepentingan penduduk kepada ataka, maka makin besar pula perlindungan ataka kepadanya. Termasuk kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan. Teori ini banyak ditentang, karena pada kenyataannya bahwa tingkat kepentingan perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang kaya. Ada perlindungan jaminan ataka, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan orang yang miskin justru dibebaskan dari beban pajak. Sama dengan teori asuransi, teori ini mempunyai kelemahan antara lain tentang fungsi ataka untuk melindungi segenap rakyatnya. Negara tidak boleh memilih-milih dalam melindungi penduduknya. Jika misalnya di suatu RT (Rukun Tetangga) terjadi kebakaran, apakah hanya mereka yang sudah bayar pajak yang dibantu dan diselamatkan oleh petugas mobil kebakaran? Di samping itu jika ditinjau dari ataka definisi pajak, maka adanya hubungan langsung atau kontraprestasi (dalam hal ini kepentingan wajib pajak) telah menggugurkan eksistensi pajak itu sendiri.
c. Teori Daya Pikul. Teori daya pikul sebenarnya tidak memberikan jawaban atas justifikasi pemungutan pajak. Teori ini hanya mengusulkan supaya dalam memungut pajak pemerintah harus memperhatikan daya pikul dari wajib pajak, beban pajak yang dikenakan harus sama besarnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Jadi wajib pajak membayar pajak sesuai dengan daya pikulnya.Ajaran teori ini ternyata masih dapat bertahan sampai sekarang, yakni seorang wajib pajak tidak akan dikenakan pajak penghasilan atas seluruh penghasilan kotornya. Suatu jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidupnya haruslah dikeluarkan terlebih dahulu sebelum dikenakan ataka pajak. Jumlah yang dikeluarkan tersebut disebut penghasilan tidak kena pajak, minimum kehidupan atau pendapatan bebas pajak minimum of subsistence.
d. Teori Bakti. Adapun teori bakti dapat dikatakan sama dengan teori kedaulatan ataka pada mata kuliah Pengantar llmu Hukum. Penduduk harus tunduk atau patuh kepada ataka, karena ataka sebagai suatu lembaga atau organisasi sudah eksis, sudah ada dalam kenyataan. Teori bakti mengajarkan, bahwa penduduk adalah bagian dari suatu ataka; oleh karena itu penduduk terikat pada keberadaan ataka dan karenanya wajib membayar pajak, dalam arti wajib berbakti kepada ataka. Dalam teori ini, dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Penganut teori bakti menganjurkan untuk membayar pajak kepada ataka dengan tidak bertanya-tanya lagi apa yang menjadi dasar bagi ataka untuk memungut pajak.Karena organisasi atau lembaga yakni ataka telah ada sebagai suatu kenyataan, maka penduduknya wajib secara mutlak membayar pajak, wajib berbakti kepada ataka.
e. Teori Asas Daya Beli; dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak, artinya memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga ataka. Menurut teori ini yustifikasi pemungutan pajak terletak pada akibat pemungutan pajak. Misalnya tersedianya dana yang cukup untuk membiayai pengeluaran umum ataka, karena akibat baik dari perhatian ataka pada masyarakat maka pemungutan pajak adalah juga baik.
f. Teori Pembangunan, Untuk Indonesia yustifikasi pemungutan pajak yang paling tepat adalah pembangunan dalam arti masyarakat yang adil dan makmur
6. Pembedaan dan Penggolongan Pajak
Dalam berbagai atakana e llmu Keuangan Negara dan Pengantar llmu Hukum Pajak terdapat pembedaan atau penggolongan pajak (classes of taxes, kind of taxes) serta jenis-jenis pajak. Pembedaan atau penggolongan tersebut didasarkan pada suatu atakana, seperti siapa yang membayar pajak; siapa yang pada akhirnya memikul beban pajak; apakah beban pajak dapat dilimpahkan/dialihkan kepada pihak lain atau tidak; siapa yang memungut; serta sifat-sifat yang melekat pada pajak yang bersangkutan. Pada umumnya pajak digolongkan atas beberapa bagian seperti Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung, penggolongan pajak pusat dan pajak daerah, menurut golongan pajak, pajak subjektif dan objektif serta menurut pajak pribadi atau menurut pajak kebendaan. OECD juga membuat penggolongan tersendiri atas atakana tertentu.
a. Menurut golongannya:
(1) Pajak langsung, pajak yang dikenakan pada wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan pada orang lain. Dalam arti ekonomis ialah pajak yang beban pembayarannya harus dipikul sendiri oleh wajib pajak bersangkutan dan tidak boleh dilimpahkan kepada orang lain. Pajak langsung dalam arti atakana e l e ialah pajak yang dipungut secara berkala. Contoh: pajak penghasilan (Pph)
(2) Pajak tidak langsung, pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Dalam pengertian ekonomis adalah pajak yang beban pembayarannya dapat dilimpahkan kepada orang lain, yang menanggung beban pajak pada akhirnya adalah konsumen. Dalam pengertian atakana e l e adalah pajak uang dipungut setiap terjadi peristiwa yang menyebabkan terhutangnya pajak. Misal saat penyerahan penjualan dari produsen pada konsumen, saat pembuatan akta, surat persetujuan (sewa menyewa, jual beli, pinjam meminjam), pajak pertambahan nilai (Ppn), pajak bea materai (pajak atas dokumen), bea balik nama, pajak tontonan dan sebagainya.
b. Menurut sifatnya
(1) Pajak Subjektif (pajak perseorangan); ialah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subyeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Dalam pemungutannya pertama-tama memperhatikan keadaan pribadi pembayarnya (subyeknya). Status pembayar pajak akan mempengaruhi besar kecilnya pajak yang akan dibayarkan. Misal status bujangan atau perawan, status kawin, jumlah tanggungan keluarga dalam pajak penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi,
(2) Pajak objektif. (pajak kebendaan); yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Dalam pemungutannya pertama-tama melihat obyeknya baik berupa benda, keadaan perbuatan dan peristiwa yang menyebabkan kewajibanmembayar pajak. Besar kecilnya pajak tidak dipengaruhi oleh keadaan subyeknya, setelah ketemu obyeknya baru dicari subyeknya (orang atau badan yang bersangkutan), contoh: PPN, PKB dan PBB.
c. Menurut lembaganya pemungutnya:
(1) Pajak Pusat (Pajak Negara); adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang penyelenggaraannya dilaksanakan oleh departemen keuangan dan hasilnya digunakan untuk pembiayaan rumah tangga ataka pada umumnya. Contoh: Pajak penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi Bangunan, dan Bea Materai. Pajak yang dipungut pemerintah pusat, adalah oleh:
(a) Dirjen Pajak, yakni:
PPh: Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan pada tingkat keberhasilan tertentu
PPN (Pajak Pertambahan Nilai Barang dan jasa) dan Ph.Bm. pajak penjualan atas barang mewah). Keduanya merupakan satu kesatuan sebagai pajak yang dipungut atas konsumsi dalam negeri oleh karena itu terhadap penyerahan atau import barang mewah selain dikenakan pajak pertambahan nilai juga dikenakan pajak penjualan atas barang mewah
PBB adalah pajak atas harta tidak bergerak yang terdiri dari tanah dan bangunan (property tax)
Bea Materai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen
Bea Lelang adalah pajak yang dikenakan atas barang yang penjualannya dengan cara penjualan lelang
22
(b) Dirjen Bea Cukai, yaitu:
Bea Masuk: bea atas barang masuk ke dalam kawasan pabean
Pajak Eksport (bea keluar)
Pajak Pertambahan Nilai (import): khusus untuk barang yang dibeli dari luar negeri
© Dirjen Moneter, yaitu:
Pajak atas minyak bumi sbg penghasilan produk
Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemda berdasarkan
perda masing-masing dan hasilnya digunakan untuk pembiayaan rumah tanggadaerah masing-masing
(2) Pajak Daerah, terdiri atas: Pajak Propinsi, Pajak Kenderaan Bermotor dan Kenderaan di atas Air, Pajak Bahan Bakar Kenderaan Bermotor, Pajak Kabupaten/Kota, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak hiburan,
Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan.
Pajak yang dipungut pemerintah daerah, adalah oleh:
Pemda Propinsi, yakni:
PKB
Pajak Bea Balik Nama KB
Pajak bea balik nama tanah (pulasi)
pajak ijin menangkap ikan di wilayahnya
(b) Pemda Kabupate/Kota, yaitu:
pajak pertunjukan dan keramaian umum
pajak reklame
Pajak anjing
Pajak kendaraan tidak bermotor
Pajak pembangunan
Pajak radio
Pajak jalan
Pajak bangsa asing
Pajak potong hewan dll
Pemungutan lain bagi daerah, antara lain: bea jalan/jembatan, bea pangkalan, bea penambangan, bea sepadan/izin bangunan, bea penguburan, bea atas pengujian kendaraan bermotor, retribusi jembatan timbang, retribusi bus, taksi dll, retribusi tempat rekreasi, retribusi pasar, retribusi pesanggrahan, retribusi pelelangan ikan. Sedangkan Pajak yang dipungut atas barang tentang bea cukai daerah adalah bea rokok dan bea beras. Menurut beberapa atakana e pajak, terdapat beberapa jenis “pajak”, khususnya yang ditemukan di ataka Amerika Serikat seperti gasoline tax, poll tax, death tax yang terdiri dari estate tax dan inheritance tax, excise tax, adnaturam
(specific tax) dan advalorem tax. Selain itu, di beberapa ataka dapat ditemukan berbagai macam pungutan yang menggunakan nama “tax”, walaupun per definisi, khususnya karena adanya ataka kontraprestasi, nama pungutan tersebut bukanlah pajak. Bahkan sebenarnya adanya pungutan-pungutan yang erat kaitannya dengan kontraprestasi, yakni adanya izin atau layanan dari pihak pemerintah kepada
mereka yang membutuhkan adanya izin atau layanan tersebut. Sehingga jika dikaji lebih lanjut, sebenarnya sebagian dari “tax” tersebut pada hakikatnya termasuk dalam pengertian retribusi. Ciri utama dari retribusi adalah adanya imbalan seperti yang tersimpul dari slogan: no servie no charge. Yang artinya tiada layanan (dari Pemerintah) maka tidak akan ada pembayaran retribusi. Abattoir tax, atau disebut slaughtering tax, yakni pungutan yang dikenakan kepada setiap hewan yang dipotong. Pungutan ini bermaksud baik sebagai pungutan atas jasa dan peristiwa pemotongan maupun sebagai pungutan semi mewah, khususnya di ataka-negara yang tidak mengkonsumsi daging hewan. Advertising tax, adalah pungutan atas reklame, iklan atau bentuk promosi lainnya yang biasanya ditempatkan di luar ruang. Airport tax, adalah pungutan yang dikenakan terhadap penumpang yang akan berangkat melalui ataka udara. Apprenticeship tax, adalah pungutan yang dikenakan kepada pemberi kerja di bidang usaha tertentu yang dananya diperuntukkan untuk latihan dan magang. Appropriated tax, adalah pungutan yang dananya direncanakan untuk membiayai aktivitas atau area tertentu, misalnya apprenticeship tax. Bicycle tax, adalah pungutan terhadap penggunaan sepeda yang di Indonesia disebut ‘pening’ sepeda. Branch tax, Branch Profit Tax, Branch Earning Tax, adalah pajak yang dikenakan terhadap laba setelah dikurangi Pajak Penghasilan di Indonesia. Yang diterima/diperoleh Kantor Cabang perusahaan di dalam negeri yang kantor pusatnya berada di luar negeri. Kantor Cabang yang demikian disebut BUT=Bentuk Usaha Tetap atau Permanent Establishment (istilah bahasa Inggris) atau Vaste Inrichting (istilah bahasa Belanda). Capital Acquisition Tax, adalah suatu jenis pajak yang dipungut di Irlandia terhadap hibah dan warisan. Capital Gain Tax, adalah pajak yang dikenakan terhadap laba yang diperoleh atas penjualan atau pengalihan harta. Di beberapa ataka jenis pajak ini dikenakan tersendiri di luar pajak penghasilan. Di Indonesia, capital gain tax sudah termasuk dalam Pajak Penghasilan yakni sebagaimana yang diatur dalam pasal 4 ayat 1 huruf d UU PPh 1994. Capital Transfer Tax, adalah pajak yang dikenakan di Inggris terhadap pemberian antara keluarga, atau pengggantian pada waktu kematian. Sejak tahun 1985 jenis pajak ini diganti dengan inheritance tax (pajak atau warisan).
7. Sistem Perpajakan
Ludwig von Bertalanffy, seorang biopsikologi bangsa Jerman yang menulis General System Theory pada tahun 1950-an mengemukakan bahwa semua fenomena mempunyai hubungan seperti dalam ilmu alam: ada organ, sel dan molekul. Suatu masyarakat terdiri dari suprasistem, ataka dan subsistem. Sistem perpajakan dapat disebut sebagai metode atau cara bagaimana mengelola utang pajak yang terutang oleh Wajib Pajak dapat mengalir ke Kas Negara. Contoh: Ditinjau dari tingkatan ataka, maka ataka adalah suatu suprasistem, Keuangan Negara adalah ataka dan perpajakan adalah subsistem Ditinjau dari tingkatan perpajakan, maka perpajakan di Indonesia adalah suatu suprasistem, pajak penghasilan adalah ataka dan pajak penghasilan atas karyawan adalah subsistem. Dalam ataka perpajakan suatu ataka biasanya dikenal beberapa ataka, yaitu:
a. Self Assessment System yaitu suatu ataka perpajakan yang memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya (menghitung pajak sendiri).
b. Withholding Tax System yaitu suatu ataka perpajakan di mana pihak ketiga diberi kepercayaan (kewajiban), atau diberdayakan (empowerment) oleh undang-undang perpajakan untuk memotong pajak penghasilan sekian persen dari penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak.
c. Official Assessment System adalah suatu ataka perpajakan dalam mana inisiatif untuk memenuhi kewajiban perpajakan berada di pihak fiskus. Faktor yang turut mempengaruhi optimalisasi pemasukan dana ke kas ataka melalui pajak adalah:
a. Filsafat ataka; ataka yang berideologi yang berorientasi kepada kesejahteraan rakyat akan banyak mendapat dukungan dari rakyatnya dalam hal pembayaran pajak. Untuk itu rakyat diikutsertakan dalam menentukan berat ringannya pajak melalui penetapan undang-undang perpajakan oleh DPR sebaliknya di ataka yang berorientasi kepada kepentingan penguasa sangat sulit untuk mengharapkan partisipasi masyarakat untuk kewajiban pajaknya.
b. Kejelasan undang-undang dan peraturan perpajakan; UU yang jelas, mudah dan sederhana pasti akan menimbulkan penafsiran yang baik di pihak fiscus maupun di pihak wajib pajak
c. Tingkat pendidikan penduduk/wajib pajak; secara umum dapat dikatakan bahwa semakin tinggi pendidikan wajib pajak maka makin mudah bagi
mereka untuk memahami peraturan perpajakan termasuk memahami
sanksi administrasi dan sanksi pidana fiscal.
d. Kualitas dan kuantitas petugas pajak setempat sangat menentukan efektifitas UU dan peraturan perpajakan. Fiscus yang atakana e l akan berusaha secara konsisten untuk menggali objek pajak yang menurut ketentuan pajak harus dikenakan pajak.
e. Strategi yang diterapkan organisasi yang mengadministrasikan pajak. Di Indonesia, unit-unit untuk ini adalah; Kantor Pelayanan Pajak dan Kantor Pemeriksaan dan Penyelidikan Pajak yang dilakukan Dirjen Pajak
8. Tarif Pajak
Dalam berbagai atakana e perpajakan dikenal lima macam ataka pajak yakni ataka tetap (fixed rate), ataka proporsional (proportional rate), tariff progresif (progressive rate), ataka regresif (regressive rate) dan ataka degresif (degressive rate), yang dipahami sebagai berikut:
a. Tarif tetap adalah ataka yang jumlah pajaknya dalam rupiah (atau dollar) bersifat tetap walaupun Objek Pajaknya jumlahnya berbeda-beda. Misalnya ataka Bea Meterai berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 1985. Jumlah Bea Meterai atas kuitansi atau tanda terima uang di atas Rp 1.000.000,- adalah Rp 6.000,- Walaupun uang yang diterima besarnya Rp 100.000.000,- atau Rp 10.000.000.000,- dan seterusnya, jumlah Bea Meterai yang terutang tetap Rp 6.000,-
b. Tarif proporsional adalah ataka yang prosentasenya tetap walaupun jumlah objek pajaknya berubah-ubah. Misalnya ataka PPN 10% atas Rp 100.000,- 10% atas Rp 50.000.000,- 10% atas Rp 10.000.000.000,-
c. Tarif Pajak yang bersifat progresif adalah ataka pajak yang makin tinggi objek pajaknya, maka makin tinggi pula prosentase ataka pajaknya. Misalnya ataka Pajak Pendapatan tahun 1944, Tarif Pajak Penghasilan berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
d. Tarif Pajak Regresif adalah ataka pajak yang makin tinggi objek pajak, maka makin rendah prosentase tarifnya.
e. Tarif Pajak Degresif adalah ataka pajak yang apabila objek pajaknya makin tinggi, maka makin rendah tarifnya. Tarif ini pernah berlaku untuk Bea Warisan. Makin tinggi warisan yang akan diterima oleh ahli waris, maka ataka bea atau pajak atas warisan makin kecil.
9. Hukum Pajak dan Pemungutnya Menurut Islam
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membiarkan manusia saling menzhalimi satu dengan yang lainnya, Allah dengan tegas mengharamkan perbuatan zhalim atas diri-Nya, juga atas segenap makhluk-Nya Kezhaliman dengan berbagai ragamnya telah menyebar dan berlangsung turun temurun dari generasi ke generasi, dan ini merupakan salah satu tanda akan datangnya hari Kiamat sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda (yang artinya): “Sungguh akan ataka kepada manusia suatu zaman saat manusia tidak peduli dari mana mereka mendapatkan harta, dari yang halalkah atau yang haram.” (HR Bukhari kitab Al-Buyu : 7)
Di antara bentuk kezhaliman yang ataka merata di tanah air kita adalah diterapkannya ataka perpajakan yang dibebankan kepada masyarakat secara umum, terutama kaum muslimin, dengan atakan harta tersebut dikembalikan untuk kemaslahatan dan kebutuhan bersama. Untuk itulah, akan kami jelaskan masalah pajak ditinjau dari hukumnya dan beberapa hal berkaitan dengan pajak tersebut, di antaranya ialah sikap kaum muslimin yang harus taat kepada pemerintah dalam masalah ini. Mudah-mudahan bermanfaat.
10. DEFINISI PAJAK
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama al-Usyr atau al-Maks, atau ata juga disebut adh-Dharibah, yang artinya adalah; “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak” . Atau suatu ketika ata disebut al-Kharaj, akan tetapi Al-Kharaj biasa digunakan untuk pungutan-pungutan yang berkaitan dengan tanah secara khusus. Sedangkan para pemungutnya disebut Shahibul Maks atau al-Asysyar. Adapun menurut ahli bahasa, pajak adalah: “Suatu pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum.“
11. MACAM-MACAM PAJAK
Diantara macam pajak yang sering kita jumpai ialah:
• Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan terhadap tanah dan lahan dan bangunan yang dimiliki seseorang.
• Pajak Penghasilan (PPh), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan seseorang.
• Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
• Pajak Barang dan Jasa
• Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM).
• Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi) atau badan lain semisalnya.
• Pajak Transit/Peron dan sebagainya.
12. ADAKAH PAJAK BUMI/KHARAJ DALAM ISLAM?
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya al-Mughni (4/186-121) menjelaskan bahwa bumi/tanah kaum muslimin terbagi menjadi dua macam:
1. Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir tanpa peperangan, seperti yang terjadi di Madinah, Yaman dan semisalnya. Maka bagi orang yang memiliki tanah tersebut akan terkena pajak kharaj/pajak bumi sampai mereka masuk Islam, dan ini hukumnya adalah seperti atak jizyah, sehingga pajak yang berlaku pada tanah seperti ini berlaku hanya terhadap mereka yang masih kafir saja.
2. Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir dengan peperangan, sehingga penduduk asli kafir terusir dan tidak memiliki tanah tersebut, dan jadilah tanah tersebut wakaf untuk kaum muslimin (apabila tanah itu tidak dibagi-bagi untuk kaum muslimin). Bagi penduduk asli yang kafir maupun orang muslim yang hendak tinggal atau mengolah tanah tersebut, diharuskan membayar sewa tanah itu karena sesungguhnya tanah itu adalah wakaf yang tidak ata dijual dan dimiliki oleh pribadi; dan ini bukan berarti membayar pajak, melainkan hanya ongkos sewa tanah tersebut.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pajak pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah diwajibkan atas kaum muslimin, dan pajak hanya diwajibkan atas orang-orang kafir saja.
13. HUKUM PAJAK DAN PEMUNGUTNYA MENURUT ISLAM
Dalam Islam telah dijelaskan keharaman pajak dengan dalil-dalil yang jelas, baik secara umum atau khusus masalah pajak itu sendiri.
Adapun dalil secara umum, semisal firman Allah (yang artinya):
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil.” (an-Nisa’ : 29)
Dalam ayat diatas Allah melarang hambaNya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta ataka.
Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya.”
Adapun dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan keharaman pajak dan ancaman bagi para penariknya, di antaranya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka.” (HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7)
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dan beliau berkata : “Sanadnya bagus, para perawinya adalah perawi (yang dipakai oleh) Bukhari-Muslim, kecuali Ibnu Lahi’ah; kendati demikian, hadits ini shahih karena yang meriwayatkan dari Abu Lahi’ah adalah Qutaibah bin Sa’id Al-Mishri.”
Dan hadits tersebut dikuatkan oleh hadits lain, seperti;
“Dari Abu Khair radhiyallahu ‘anhu beliau berkata; Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata; “Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diadzab) di neraka.” (HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930)
Berkata Syaikh al-Albani rahimahullah: “(Karena telah jelas keabsahan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Lahi’ah dari Qutaibah) maka aku tetapkan untuk memindahkan hadits ini dari kitab Dha’if al-Jami’ah ash-Shaghir kepada kitab Shahih al-Jami, dan dari kitab Dha’if at-Targhib kepada kitab Shahih at-Targhib.“
Hadits-hadits yang semakna juga dishahihkan oleh Dr Rabi Al-Madkhali hafidzahulllah dalam kitabnya, Al-Awashim wal Qawashim hal. 45.
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang mengisahkan dilaksanakannya atak rajam terhadap pelaku zina (seorang wanita dari Ghamid), setelah wanita tersebut diputuskan untuk dirajam, datanglah Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu menghampiri wanita itu dengan melemparkan batu ke arahnya, lalu darah wanita itu mengenai baju Khalid, kemudian Khalid marah sambil mencacinya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Pelan-pelan, wahai Khalid. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh dia telah bertaubat dengan taubat yang apabila penarik/pemungut pajak mau bertaubat (sepertinya) pasti diampuni. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan (untuk disiapkan jenazahnya), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatinya, lalu dikuburkan.” (HR Muslim 20/5 no. 1695, Ahmad 5/348 no. 16605, Abu Dawud 4442, Baihaqi 4/18, 8/218, 221, Lihat Silsilah Ash-Shahihah hal. 715-716)Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat beberapa ibrah/hikmah yang agung diantaranya ialah: “Bahwasanya pajak termasuk sejahat-jahat kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat nanti.” (Lihat: Syarah Shahih Muslim 11/202 oleh Imam Nawawi)
14. KESEPAKATAN ULAMA ATAS HARAMNYA PAJAK
Imam Ibnu Hazm al-Andalusi rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Maratib Al-Ijma (hal. 121), dan disetujui oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah:
“Dan mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil uang denda (yang wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa yang (biasa) dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan fasik. Kecuali apa yang mereka pungut dari kaum muslimin atas nama zakat barang yang mereka perjualbelikan (zakat perdagangan) setiap tahunnya, dan (kecuali) yang mereka pungut dari para ahli harbi (kafir yang memerangi agama Islam) atau ahli dzimmi (kafir yang harus membayar jizyah sebagai jaminan keamanan di negeri muslim), (yaitu) dari barang yang mereka perjualbelikan sebesar sepersepuluh atau setengahnya, maka sesungguhnya (para ulama) telah beselisih tentang hal tesebut, (sebagian) berpendapat mewajibkan ataka untuk mengambil dari setiap itu semua, sebagian lain menolak untuk mengambil sedikitpun dari itu semua, kecuali apa yang telah disepakati dalam perjanjian damai dengan dengan ahli dzimmah yang telah disebut dan disyaratkan saja.”
15. PAJAK BUKAN ZAKAT
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah dalam kitabnya Syarh Ma’ani al-Atsar (2/30-31), berkata bahwa al-Usyr yang telah dihapus kewajibannya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atas kaum muslimin adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahiliyah. Kemudian beliau melanjutkan: “…hal ini sangat berbeda dengan kewajiban zakat…“ Perbedaan lain yang sangat jelas antara pajak dan zakat di antaranya:
1. Zakat adalah memberikan sebagian harta menurut kadar yang ditentukan oleh Allah bagi orang yang mempunyai harta yang telah sampai nishabnya . Sedangkan pajak tidak ada ketentuan yang jelas kecuali ditentukan oleh penguasa di suatu tempat.
2. Zakat berlaku bagi kaum muslimin saja, hal itu lantaran zakat berfungsi untuk menyucikan pelakunya, dan hal itu tidak mungkin kita atakana kepada orang kafir karena orang kafir tidak akan menjadi suci melainkan harus beriman terlebih dahulu. Sedangkan pajak berlaku bagi orang-orang kafir yang tinggal di tanah kekuasaan kaum muslimin.
3. Yang dihapus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang penarikan sepersepuluh dari harta manusia adalah pajak yang biasa ditarik oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, maka ia bukanlah pajak, karena zakat termasuk bagian dari harta yang wajib ditarik oleh imam/pemimpin dan dikembalikan/diberikan kepada orang-orang yang berhak.
4. Zakat adalah salah satu bentuk syari’at Islam yang cicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan pajak merupakan sunnahnya orang-orang jahiliyah yang asal-usulnya biasa dipungut oleh para raja Arab atau non-Arab, dan di antara kebiasaan mereka ialah menarik pajak sepersepuluh dari barang dagangan manusia yang melalui/melewati daerah kekuasannya. (Lihat al-Amwal oleh Abu Ubaid al-Qasim)
















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Untuk lebih mendalami mata kuliah perpajakan secara garis besar kita harus mengetahui:
1. siapa yang dikenakan pajak( subjek pajak)
2. apa yang dikenakan pajak ( objek pajak)
3. berapa pajaknya (tariff pajak)
4. bagaimana melaksanakan hukum pajak
* pajak dapat dipaksakan
Undang-undang memberikan wewenang kepada fiskus untuk memaksa WP untuk mematuhi dan melaksanakan kewajiban pajaknya. Sebab undang undang menurut sanksi-sanksi pidana fiscal (pajak) sanksi administrative yang kususnya diatur oleh UU No 19 tahun 2000 termasuk wewenang dari perpajakan untuk mengadsakan penyitaan terhadap harta bergerak/ tetap wajib pajak. Dalam hukum pajak Indonesia dikenal lembaga sandera atau girling yaitu wajib pajak yang pada dasarnya mampu membayar pajak namun selalu menghindari pembayaran pajak dengan berbagai dalih, maka fiskus dapat menyandera wp dengan memasukkannya kedalam penjara.
•Pajak tidak menerima kontra prestasi; Ciri kas pajak dibandiong dengan jenis pungutan lainnya adalah wajib pajak (tax payer ) tidak menerima jasa timbal yang dapat ditunjuk secara langsung dari pemerintah namun perlu dipahami bahwa sebenarnya subjek pajak ada menerima jasa timbal tetapi diterima secara kolektif bersama dengan masyarakat lainnya.
•Untuk membiayai biaya umum pemerintah; Pajak yang dipungut tidak pernah ditujukan untuk biaya khusus dipandang dari segi hukum maka pajak akan terutang apabila memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif Syarat objektif: yang berhubungan dengan objek pajak misalnmya adanya penghasilan atau penyeerahan barang kena pajak. Syarat subjektif adalah syarat yang berhubungan dengan subjek pajak, apakah orang pribadi atau badan.Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa ditugaskan secara kelompok untuk membuat makalah mengenai sistem perpajakan di Indonesia serta mendiskusikan mengenai self assesment dalam sistem perpajakan nasional.
B. SARAN
Sebagai warga yanga baik mesti kita harus membayar pajak tepat pada waktu, karena pajak digunakan untuk membayar pengeluaran Negara dan dari mana lagi Negara akan mendapat pemasukkan selain dari pajak iaya memang ada tapi tak sebanyak dari keuntungan yang bias didapat dari wajib pajak jadi sebagai warga Negara yang baik bayar pajak terpat pada waktu dan jagan mau menyuap petugas pajak untuk membuat pajak rendah
Dan untuk para petugas pajak lihat kemampuan warga negara yang dipungut pajak karena sampai warga Negara itu mengalami kebangkrutan gara-gara pajak

POST TEST
1. Apakah Self assesment merupakan sistem yang baik? Jelaskan mengenai tiga
system perpajakan yang popular!
2. Apakah sistem perpajakan nasional sudah diarahkan untuk melimpahkan tax ratio
pajak?
3. Apakah penghitungan tarif di Indonesia sudah baik? Sebutkan kelima sistem tarif
yang dikenal selama ini!
4. Apabila ada Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia apakah penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia? Sebutkan
dasar asas pengenaan pajaknya!
5. Apa yang dimaksud syarat subyektif dan syarat obyektif pajak?
6. Apa yang kamu ketahui tentang fungsi pajak redistribusi pendapatan?
7. Jelaskan perbedaan fixed rate, proportional rate dan progressive rate!
8. apakah yang dimaksud dengan Withholding tax system, kontribusi, tahun pajak dan tarif pajak? Jelaskan maksud dari Asas Convinience of Payment!



DAFTAR PUSTAKA

http://ahlussunnah.mobi/fiqih/muamalah/riba-dan-pajak/hukum-pajak-dan-pemungutnya-menurut-islam
http://blog.unila.ac.id/aliyasa/tugas-kuliah-hukum/hukum-pajak/
http://www.elvinmiradi.com/article/makalah-hukum-pajak.html
http://kedanta.tripod.com/karya.html
http://massofa.wordpress.com/2008/02/05/justifikasi-pemungutan-pajak-hukum-sanksi-dan-hutang-pajak/
http://pureliefde.wordpress.com/2010/02/12/kedudukan-hukum-pajak/
http://id.shvoong.com/law-and-politics/taxation-law/
http://www.docstoc.com/docs/4645120/Alat-Paksa-dalam-Hukum-Pajak
http://e-course.petra.ac.id/course/info.php?id=172
http://www.sentralbuku.com/index.php/vmchk/Bisnis/Pengantar-Hukum-Pajak-Edisi-Baru/flypage.tpl.html
http://www.worldcat.org/title/peradilan-pajak-lembaga-penyanderaan-gijzeling-dalam-hukum-pajak-di-indonesia/oclc/213071871
Prodi Ilmu Hukum-BABI_BUKU AJAR PAJAK.pdf